Warga Darawa mengembangkan budi daya rumput laut sembari merawat terumbu karang. Bertahun-tahun lalu, 90 persen kepala keluarga di desa itu merantau.
*
Sepuluh menit berlayar, Samiudin, 50 tahun, menghentikan katinting—perahu kecil bermesin tempel—yang dikendarainya. Ia lalu menjejakkan kaki ke dasar laut yang hanya sedalam lutut. Dari ceruk perahu, warga Desa Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu mengeluarkan tali sepanjang 50 meter berisi rangkaian bibit rumput laut, lalu membentangkannya di permukaan air.
Sesekali ia merapikan botol air mineral dan potongan styrofoam yang diikatkan di sepanjang tali. Benda-benda itu berfungsi sebagai pelampung untuk menjaga rumput laut tetap mengambang. “Bibit harus terus bergoyang di air. Bagus untuk pertumbuhan,” kata dia. Pekerjaan yang sama diulanginya pada pagi itu selama dua jam hingga semua bibit rumput laut terhampar di perairan Pulau Darawa.
Samiudin adalah anggota Kelompok Masyarakat Dewara di Desa Darawa yang menekuni budi daya rumput laut. Pekerjaan ini sejatinya bukanlah pekerjaan tradisional warga pulau karang itu. Sebelumnya, pria Darawa lebih senang mencari pekerjaan di Maluku, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Banyak pula yang bekerja sebagai anak buah kapal di Malaysia, seperti halnya La Jumani, 46 tahun.
Jumani mengatakan telah tiga kali keluar-masuk Malaysia untuk bekerja sebagai anak buah kapal. Selama itu pula, dua kali ia ditahan oleh aparat setempat lantaran tidak memiliki paspor. Dia mengaku digaji Rp 3 juta per bulan. Kala itu, kata ayah dua anak ini, 90 persen kepala keluarga bekerja di luar desa. Rendahnya pendapatan juga dialami perantau lain. Akibatnya, banyak siswa yang putus sekolah.
Peruntungan desa berpenduduk 221 keluarga itu mulai berubah ketika pada 2007, Jumani membentuk Kelompok Masyarakat Dewara bersama enam warga lain. Pada tahun yang sama, Dewara menjadi kelompok masyarakat binaan Balai Taman Nasional Wakatobi dan diperkenalkan dengan teknik budi daya rumput laut.
Masa-masa awal pendirian kelompok ini, kata Jumani, tidak mudah. Ia menuturkan banyak warga yang meremehkan manfaat membentuk kelompok. “Untuk apa berkelompok? Tidak ada manfaatnya,” ia menirukan ucapan sebagian warga. Namun Jumani, Samiudin, Adinanto, Sarifudin, Suhardin, Bakri, dan Adinuru tidak berkecil hati.
Mereka rajin bergotong-royong. Dari membuat bak penampungan air hingga memanen rumput laut dilakukan bersama-sama. Lama-kelamaan, makin banyak warga yang bergabung. Saat ini jumlah anggota Dewara sudah mencapai 62 orang. “Setelah dilihat besar manfaatnya, mereka berbondong-bondong masuk.”
Ditemui di rumah panggungnya di Desa Darawa pekan lalu, Jumani mengimbuhkan, pada 2009, Balai memfasilitasi anggota Dewara melakukan studi banding ke Bali. Di sana mereka mempelajari lebih lanjut teknik budi daya rumput laut dan ekowisata.
Jumani, yang kini menjabat Kepala Desa Darawa, menuturkan warga awalnya membudidayakan rumput laut jenis katoni. Satu orang petani rata-rata menghasilkan panenan 2-4 ton rumput laut per tahun. Harga jual 1 kilogram katoni kala itu mencapai Rp 21 ribu per kilogram.
Tantangan datang pada 2014, sewaktu harga katoni anjlok. Warga lantas beralih membudidayakan rumput laut Spinosum setelah mendapat pelatihan dari Universitas Haluoleo. Berbeda dengan katoni yang rentan rusak bila terkena penyakit ais-ais dan bulu kucing, Spinosum kebal hama. Namun kelemahan Spinosum adalah harga jualnya hanya Rp 6.500 per kilogram.
Jumani menyebutkan setiap anggota Dewara rata-rata mampu menghasilkan 5 ton rumput laut jenis Spinosum per tahun dengan pendapatan kotor Rp 65 juta. Di luar rumput laut, warga memperoleh pendapatan dari penangkapan gurita sebesar Rp 18 juta per tahun dan ikan Rp 5 juta per bulan. Dewara kini tengah mengembangkan budi daya ikan bobara di dalam keramba tancap.
Tak hanya mengambil manfaat ekonomi dari laut, anggota Dewara juga melakukan konservasi. Selain menghindari cara penangkapan yang merusak terumbu karang, nelayan Darawa aktif mencegah nelayan luar yang ingin menangkap ikan dengan bom atau racun. “Kalau ada yang mengebom, kami kejar,” ucap Jumani.
Ia bercerita, warga Darawa pernah menangkap nelayan dari desa tetangga yang diduga membius ikan di perairan Darawa pada 2014. Ketika ditangkap, pelaku berdalih menggunakan kompresor sebagai alat bantu menyelam. Namun warga tidak percaya lantaran kompresor biasa digunakan untuk membius ikan. “Tapi karena tidak ada bukti, obat biusnya mungkin sudah dibuang, kami lepas,” ujarnya.
Prinsip-prinsip konservasi terumbu karang juga dijalankan warga dalam penangkapan gurita.
Menurut Jumani, nelayan-nelayan dari desa lain dulu menangkap gurita dengan memecah karang. Sedangkan warga Darawa, ucap dia, selalu menggunakan kayu atau besi tajam untuk memaksa gurita meninggalkan karang. “Kalau ada nelayan yang merusak karang, kami usir,” tuturnya.
La Fasa, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Wakatobi, menuturkan, sejak menjadi desa binaan, nelayan Darawa bersemangat menjaga wilayah lautnya. Jika ada nelayan yang mengebom tapi tidak terkejar, tutur Fasa, warga selalu melapor ke Balai. “Kalau ada yang ketahuan, didatangi rumahnya. Kalau ada yang tertangkap, didorong ke sanksi adat.”
Fasa menyebutkan, berkat kemitraan dengan Kelompok Dewara dalam lima tahun terakhir, sudah tidak ada lagi kasus pengeboman atau pembiusan ikan di perairan Darawa. “Bayangkan, kalau 75 desa di Wakatobi bisa mempunyai area lindungan yang dikelola oleh masyarakat, Balai bisa berkonsentrasi di wilayah-wilayah yang jauh.”
Dia menambahkan, simbiosis Balai Taman Nasional dengan Kelompok Dewara telah ditingkatkan melalui pembuatan Perjanjian Kerja Sama Kemitraan Konservasi antara Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Darman dan Ketua Kelompok Dewara, Adinanto, pada 29 Juli lalu. Perjanjian itu mengatur hak dan kewajiban kedua pihak dalam pemanfaatan kawasan Taman Nasional.
Status Dewara, kata dia, diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Konservasi antara Dewara dan Balai pada 1 Oktober lalu. Melalui skema ini, Dewara masuk dalam program perhutanan sosial yang dikembangkan pemerintah sejak 2007.
Perhutanan sosial merupakan sistem yang memberikan hak kepada kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan kawasan hutan negara atau taman nasional. Konsekuensinya, masyarakat wajib menjaga kelestarian kawasan hutan. Sistem ini mempunyai lima skema, yakni kemitraan konservasi, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan hutan adat.
Menurut La Fasa, surat keputusan menteri tersebut memberikan pengakuan dan perlindungan kepada anggota Kelompok Dewara untuk menangkap ikan, gurita, dan biota laut lain yang tidak dilindungi, membudidayakan rumput laut, serta mengembangkan ekowisata di wilayah Taman Nasional. Jangka Kemitraan Konservasi selama 35 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun sekali.
Keputusan perantau Darawa kembali ke kampung halamannya untuk mengembangkan budi daya rumput laut dan perikanan kini terlihat hasilnya. Tak ada lagi anak yang putus sekolah, warga yang merantau pun tinggal 15 persen. Jumani dan istrinya, Ruswati, bahkan telah mengantarkan anak sulungnya menyelesaikan kuliah. “Dulu kami merantau, jauh dari keluarga, gaji kecil. Ternyata sumber pendapatan ada di depan rumah.” Mereka telah menjawab panggilan laut.
***
Gurita Didapat, Karang Selamat
La Muru, 60 tahun, mengintip ke dalam air. Matanya mengawasi terumbu karang di laut dangkal. Setelah menemukan lokasi yang tepat, ia menusukkan batang kayu berujung runcing ke dalam rongga karang. Kayu ditusukkan berkali-kali karena biota laut di dalamnya melawan. Selang beberapa menit kemudian, La Muru menang. Gurita di dalam karang tertangkap dan dipindahkan ke perahu. “Beratnya kira-kira 1,5 kilogram. Ini jenis super,” ujar La Muru di perairan Pulau Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pekan lalu. Menurut dia, lokasi persembunyian gurita ditandai dengan adanya bekas-bekas makanan gurita seperti kima. Ciri lainnya adalah tumpukan batu yang dibangun oleh gurita.
La Muru bercerita, teknik penangkapan gurita dengan menusukkan batang kayu atau besi runcing adalah khas warga Darawa. Cara ini berbeda dengan yang dipakai oleh nelayan dari desa lain di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Menurut dia, sebagian warga desa lain menangkap gurita dengan merusak karang menggunakan linggis. Walau efektif memaksa gurita keluar, teknik ini jelas menghancurkan terumbu karang, yang menjadi habitat berbagai jenis biota laut. “Kalau ada yang merusak karang di wilayah desa Darawa, kami usir,” kata dia.
La Jumani, Kepala Desa Darawa yang juga pendiri Kelompok Masyarakat Dewara, menimpali bahwa gurita ditangkap pada musim meti alias surut. Meti berlangsung selama 10 hari dalam sebulan, yang terbagi dalam lima hari pada pekan pertama dan lima hari di pekan ketiga. “Di luar musim meti, kami tidak mencari gurita,” ujarnya. Dalam sehari, warga bisa menangkap gurita seberat 200 kilogram. Selain menggunakan teknik penangkapan yang khas, warga Darawa memberlakukan musim tutup penangkapan gurita alias sasi. Lokasi yang mendapat giliran sasi tidak boleh dieksploitasi. Alasannya, gurita yang berada di lokasi sasi sedang berkembang biak dan bertumbuh.
Ada dua lokasi sasi yang ditetapkan berdasarkan musim barat dan timur. Sasi musim barat berlangsung sepanjang Januari hingga Maret. Sedangkan sasi musim timur berlangsung sepanjang Juni hingga Agustus. “Pada musim timur, gurita yang dipanen ukurannya lebih besar. Pada musim barat, guritanya lebih kecil karena baru menetas. Kira-kira beratnya tiga ekor 1 kilogram,” Jumani menerangkan.
Sebelum sasi diberlakukan pada 2018, ucap dia, nelayan tidak pernah mendapatkan gurita super. Penyebabnya, gurita tidak punya waktu tumbuh maksimal. Dari hasil penangkapan gurita, warga memperoleh pemasukan Rp 10 juta per orang per tahun pada musim timur dan Rp 8 juta pada musim barat. “Gurita super paling mahal, Rp 65 ribu per kilogram,” ucap Jumani. Di samping menangkap gurita, warga mengandalkan pendapatan tambahan dari penangkapan ikan menggunakan bubu dan jaring alias sero. Ikan yang ditangkap umumnya ikan baronang, kakatua, dan karang.
Pendapatan dari penangkapan ikan lumayan besar. Dari bubu, Jumani menyatakan memperoleh pendapatan Rp 70 ribu per dua hari. Sedangkan dari sero, warga bisa memperoleh Rp 20 juta per bulan, yang dibagi untuk empat orang. Kelompok Dewara juga tengah mengembangkan budi daya ikan di dalam keramba tancap, yang dibangun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Belum panen karena baru. Kami isi dengan ikan bobara, yang bisa dipanen setelah enam bulan.”
***
Artikel ini telah tayang di Koran Tempo edisi Selasa, 26 November 2019