Mereka Menjawab Panggilan Laut

Warga Darawa mengembangkan budi daya rumput laut sembari merawat terumbu karang. Bertahun-tahun lalu, 90 persen kepala keluarga di desa itu merantau.

*

Sepuluh menit berlayar, Samiudin, 50 tahun, menghentikan katinting—perahu kecil bermesin tempel—yang dikendarainya. Ia lalu menjejakkan kaki ke dasar laut yang hanya sedalam lutut. Dari ceruk perahu, warga Desa Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu mengeluarkan tali sepanjang 50 meter berisi rangkaian bibit rumput laut, lalu membentangkannya di permukaan air.

Sesekali ia merapikan botol air mineral dan potongan styrofoam yang diikatkan di sepanjang tali. Benda-benda itu berfungsi sebagai pelampung untuk menjaga rumput laut tetap mengambang. “Bibit harus terus bergoyang di air. Bagus untuk pertumbuhan,” kata dia. Pekerjaan yang sama diulanginya pada pagi itu selama dua jam hingga semua bibit rumput laut terhampar di perairan Pulau Darawa.

Samiudin adalah anggota Kelompok Masyarakat Dewara di Desa Darawa yang menekuni budi daya rumput laut. Pekerjaan ini sejatinya bukanlah pekerjaan tradisional warga pulau karang itu. Sebelumnya, pria Darawa lebih senang mencari pekerjaan di Maluku, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Banyak pula yang bekerja sebagai anak buah kapal di Malaysia, seperti halnya La Jumani, 46 tahun.

Jumani mengatakan telah tiga kali keluar-masuk Malaysia untuk bekerja sebagai anak buah kapal. Selama itu pula, dua kali ia ditahan oleh aparat setempat lantaran tidak memiliki paspor. Dia mengaku digaji Rp 3 juta per bulan. Kala itu, kata ayah dua anak ini, 90 persen kepala keluarga bekerja di luar desa. Rendahnya pendapatan juga dialami perantau lain. Akibatnya, banyak siswa yang putus sekolah.

Peruntungan desa berpenduduk 221 keluarga itu mulai berubah ketika pada 2007, Jumani membentuk Kelompok Masyarakat Dewara bersama enam warga lain. Pada tahun yang sama, Dewara menjadi kelompok masyarakat binaan Balai Taman Nasional Wakatobi dan diperkenalkan dengan teknik budi daya rumput laut.

Masa-masa awal pendirian kelompok ini, kata Jumani, tidak mudah. Ia menuturkan banyak warga yang meremehkan manfaat membentuk kelompok. “Untuk apa berkelompok? Tidak ada manfaatnya,” ia menirukan ucapan sebagian warga. Namun Jumani, Samiudin, Adinanto, Sarifudin, Suhardin, Bakri, dan Adinuru tidak berkecil hati.

Mereka rajin bergotong-royong. Dari membuat bak penampungan air hingga memanen rumput laut dilakukan bersama-sama. Lama-kelamaan, makin banyak warga yang bergabung. Saat ini jumlah anggota Dewara sudah mencapai 62 orang. “Setelah dilihat besar manfaatnya, mereka berbondong-bondong masuk.”

Ditemui di rumah panggungnya di Desa Darawa pekan lalu, Jumani mengimbuhkan, pada 2009, Balai memfasilitasi anggota Dewara melakukan studi banding ke Bali. Di sana mereka mempelajari lebih lanjut teknik budi daya rumput laut dan ekowisata.

Jumani, yang kini menjabat Kepala Desa Darawa, menuturkan warga awalnya membudidayakan rumput laut jenis katoni. Satu orang petani rata-rata menghasilkan panenan 2-4 ton rumput laut per tahun. Harga jual 1 kilogram katoni kala itu mencapai Rp 21 ribu per kilogram.

Tantangan datang pada 2014, sewaktu harga katoni anjlok. Warga lantas beralih membudidayakan rumput laut Spinosum setelah mendapat pelatihan dari Universitas Haluoleo. Berbeda dengan katoni yang rentan rusak bila terkena penyakit ais-ais dan bulu kucing, Spinosum kebal hama. Namun kelemahan Spinosum adalah harga jualnya hanya Rp 6.500 per kilogram.

Jumani menyebutkan setiap anggota Dewara rata-rata mampu menghasilkan 5 ton rumput laut jenis Spinosum per tahun dengan pendapatan kotor Rp 65 juta. Di luar rumput laut, warga memperoleh pendapatan dari penangkapan gurita sebesar Rp 18 juta per tahun dan ikan Rp 5 juta per bulan. Dewara kini tengah mengembangkan budi daya ikan bobara di dalam keramba tancap.

Tak hanya mengambil manfaat ekonomi dari laut, anggota Dewara juga melakukan konservasi. Selain menghindari cara penangkapan yang merusak terumbu karang, nelayan Darawa aktif mencegah nelayan luar yang ingin menangkap ikan dengan bom atau racun. “Kalau ada yang mengebom, kami kejar,” ucap Jumani.

Ia bercerita, warga Darawa pernah menangkap nelayan dari desa tetangga yang diduga membius ikan di perairan Darawa pada 2014. Ketika ditangkap, pelaku berdalih menggunakan kompresor sebagai alat bantu menyelam. Namun warga tidak percaya lantaran kompresor biasa digunakan untuk membius ikan. “Tapi karena tidak ada bukti, obat biusnya mungkin sudah dibuang, kami lepas,” ujarnya.

Prinsip-prinsip konservasi terumbu karang juga dijalankan warga dalam penangkapan gurita.
Menurut Jumani, nelayan-nelayan dari desa lain dulu menangkap gurita dengan memecah karang. Sedangkan warga Darawa, ucap dia, selalu menggunakan kayu atau besi tajam untuk memaksa gurita meninggalkan karang. “Kalau ada nelayan yang merusak karang, kami usir,” tuturnya.

La Fasa, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Wakatobi, menuturkan, sejak menjadi desa binaan, nelayan Darawa bersemangat menjaga wilayah lautnya. Jika ada nelayan yang mengebom tapi tidak terkejar, tutur Fasa, warga selalu melapor ke Balai. “Kalau ada yang ketahuan, didatangi rumahnya. Kalau ada yang tertangkap, didorong ke sanksi adat.”

Fasa menyebutkan, berkat kemitraan dengan Kelompok Dewara dalam lima tahun terakhir, sudah tidak ada lagi kasus pengeboman atau pembiusan ikan di perairan Darawa. “Bayangkan, kalau 75 desa di Wakatobi bisa mempunyai area lindungan yang dikelola oleh masyarakat, Balai bisa berkonsentrasi di wilayah-wilayah yang jauh.”

Dia menambahkan, simbiosis Balai Taman Nasional dengan Kelompok Dewara telah ditingkatkan melalui pembuatan Perjanjian Kerja Sama Kemitraan Konservasi antara Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Darman dan Ketua Kelompok Dewara, Adinanto, pada 29 Juli lalu. Perjanjian itu mengatur hak dan kewajiban kedua pihak dalam pemanfaatan kawasan Taman Nasional.

Status Dewara, kata dia, diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Konservasi antara Dewara dan Balai pada 1 Oktober lalu. Melalui skema ini, Dewara masuk dalam program perhutanan sosial yang dikembangkan pemerintah sejak 2007.

Perhutanan sosial merupakan sistem yang memberikan hak kepada kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan kawasan hutan negara atau taman nasional. Konsekuensinya, masyarakat wajib menjaga kelestarian kawasan hutan. Sistem ini mempunyai lima skema, yakni kemitraan konservasi, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan hutan adat.

Menurut La Fasa, surat keputusan menteri tersebut memberikan pengakuan dan perlindungan kepada anggota Kelompok Dewara untuk menangkap ikan, gurita, dan biota laut lain yang tidak dilindungi, membudidayakan rumput laut, serta mengembangkan ekowisata di wilayah Taman Nasional. Jangka Kemitraan Konservasi selama 35 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun sekali.

Keputusan perantau Darawa kembali ke kampung halamannya untuk mengembangkan budi daya rumput laut dan perikanan kini terlihat hasilnya. Tak ada lagi anak yang putus sekolah, warga yang merantau pun tinggal 15 persen. Jumani dan istrinya, Ruswati, bahkan telah mengantarkan anak sulungnya menyelesaikan kuliah. “Dulu kami merantau, jauh dari keluarga, gaji kecil. Ternyata sumber pendapatan ada di depan rumah.” Mereka telah menjawab panggilan laut.

***

Gurita Didapat, Karang Selamat

La Muru, 60 tahun, mengintip ke dalam air. Matanya mengawasi terumbu karang di laut dangkal. Setelah menemukan lokasi yang tepat, ia menusukkan batang kayu berujung runcing ke dalam rongga karang. Kayu ditusukkan berkali-kali karena biota laut di dalamnya melawan. Selang beberapa menit kemudian, La Muru menang. Gurita di dalam karang tertangkap dan dipindahkan ke perahu. “Beratnya kira-kira 1,5 kilogram. Ini jenis super,” ujar La Muru di perairan Pulau Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pekan lalu. Menurut dia, lokasi persembunyian gurita ditandai dengan adanya bekas-bekas makanan gurita seperti kima. Ciri lainnya adalah tumpukan batu yang dibangun oleh gurita.

La Muru bercerita, teknik penangkapan gurita dengan menusukkan batang kayu atau besi runcing adalah khas warga Darawa. Cara ini berbeda dengan yang dipakai oleh nelayan dari desa lain di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Menurut dia, sebagian warga desa lain menangkap gurita dengan merusak karang menggunakan linggis. Walau efektif memaksa gurita keluar, teknik ini jelas menghancurkan terumbu karang, yang menjadi habitat berbagai jenis biota laut. “Kalau ada yang merusak karang di wilayah desa Darawa, kami usir,” kata dia.

La Jumani, Kepala Desa Darawa yang juga pendiri Kelompok Masyarakat Dewara, menimpali bahwa gurita ditangkap pada musim meti alias surut. Meti berlangsung selama 10 hari dalam sebulan, yang terbagi dalam lima hari pada pekan pertama dan lima hari di pekan ketiga. “Di luar musim meti, kami tidak mencari gurita,” ujarnya. Dalam sehari, warga bisa menangkap gurita seberat 200 kilogram. Selain menggunakan teknik penangkapan yang khas, warga Darawa memberlakukan musim tutup penangkapan gurita alias sasi. Lokasi yang mendapat giliran sasi tidak boleh dieksploitasi. Alasannya, gurita yang berada di lokasi sasi sedang berkembang biak dan bertumbuh.

Ada dua lokasi sasi yang ditetapkan berdasarkan musim barat dan timur. Sasi musim barat berlangsung sepanjang Januari hingga Maret. Sedangkan sasi musim timur berlangsung sepanjang Juni hingga Agustus. “Pada musim timur, gurita yang dipanen ukurannya lebih besar. Pada musim barat, guritanya lebih kecil karena baru menetas. Kira-kira beratnya tiga ekor 1 kilogram,” Jumani menerangkan.

Sebelum sasi diberlakukan pada 2018, ucap dia, nelayan tidak pernah mendapatkan gurita super. Penyebabnya, gurita tidak punya waktu tumbuh maksimal. Dari hasil penangkapan gurita, warga memperoleh pemasukan Rp 10 juta per orang per tahun pada musim timur dan Rp 8 juta pada musim barat. “Gurita super paling mahal, Rp 65 ribu per kilogram,” ucap Jumani. Di samping menangkap gurita, warga mengandalkan pendapatan tambahan dari penangkapan ikan menggunakan bubu dan jaring alias sero. Ikan yang ditangkap umumnya ikan baronang, kakatua, dan karang.

Pendapatan dari penangkapan ikan lumayan besar. Dari bubu, Jumani menyatakan memperoleh pendapatan Rp 70 ribu per dua hari. Sedangkan dari sero, warga bisa memperoleh Rp 20 juta per bulan, yang dibagi untuk empat orang. Kelompok Dewara juga tengah mengembangkan budi daya ikan di dalam keramba tancap, yang dibangun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Belum panen karena baru. Kami isi dengan ikan bobara, yang bisa dipanen setelah enam bulan.”

***

Artikel ini telah tayang di Koran Tempo edisi Selasa, 26 November 2019

Koruptor Tanpa Penjara

Daya juang bangsa ini dalam pemberantasan korupsi terus diuji. Pekan lalu, Indonesia Corruption Watch mengungkapkan, pada periode Januari-Juni 2016 mayoritas koruptor hanya divonis rata-rata 2 tahun 1 bulan penjara.  ICW pun mengusulkan supaya Mahkamah Agung membuat pedoman bagi pengadilan yang menyidangkan kasus korupsi supaya ada kesamaan sikap menilai kasus-kasus korupsi.

Hukuman yang sudah ringan itu rupanya hendak didiskon lagi oleh  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Dua hari sebelum digeser dari posisinya, dia  mengatakan pemerintah tengah mengkaji kebijakan agar koruptor tak perlu dihukum penjara. Cukup mengembalikan uang yang dicuri ditambah penalti dan dipecat dari jabatannya.

Alasan Luhut absurd:  penjara akan semakin penuh jika koruptor dipenjara. Alasan kedua, penjara ternyata tidak memberikan efek jera bagi koruptor. Pemerintah tidak main-main dengan rencana tersebut. Luhut mengklaim telah membentuk tim pengkaji penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang soal ini. Nama-nama besar di bidang hukum ditempatkan sebagai anggota tim.

Rencana tak masuk akal ini tentu saja harus ditolak.  Para koruptor sudah seharusnya merasakan dinginnya lantai penjara akibat kekejian yang dilakukannya. Logika Luhut mengenai minimnya efek jera bisa dipatahkan dengan cara memperberat hukuman. Misalkan melalui perpanjangan masa hukuman atau perampasan aset. Toh instrumennya ada, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Soal penuhnya penjara juga tidak boleh dijadikan alasan. Sebab, masalah ini adalah masalah menahun yang hanya bisa diselesaikan dengan menambah jumlah penjara beserta sumber daya manusia pengelolanya. Solusi ini tidak hanya menepis kekhawatiran Luhut mengenai penjara akan dibanjiri koruptor, tapi juga memperbaiki kondisi penghuni penjara secara keseluruhan.

Selain akan mengaburkan batasan antara perbuatan pidana dan perdata, penghapusan hukuman penjara bagi koruptor—sekali lagi dengan alasan penjara penuh,  akan membuat Indonesia tampak aneh di mata dunia. Sebab, di negara manapun, pelaku tindak pidana korupsi  pasti dihukum penjara, mengganti kerugian negara, dan membayar denda.

Tanpa hukuman yang keras kepada koruptor, pemerintah dan lembaga peradilan hanya akan memberikan kesan bahwa korupsi adalah kejahatan biasa. Bahkan, jika logika Luhut dipakai, koruptor ibarat penjudi yang sedang sial. Kalau tidak tertangkap uang didapat, kalau tertangkap uang melayang. Tak lebih dari sebuah pertaruhan, tak lagi menakutkan.  Di lain waktu, koruptor yang sama berpotensi mengulangi kejahatan yang sama pula.

Lama-kelamaan korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, yang secara tidak langsung membunuh jutaan umat manusia,  melainkan sekadar ‘kenakalan’ karena ringannya hukuman. Kita berharap Wiranto yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan lebih bijak ketimbang pendahulunya.

***

Manfaatkan Momentum Investment Grade

Peringkat layak investasi (investment grade)  yang disematkan Fitch Ratings kepada surat utang Indonesia tidak selayaknya menjadi alasan pemerintah berpuas diri dan berleha-leha menunggu pemilik modal menyambangi negeri ini. Masih ada 1.001 pekerjaan rumah yang harus dibereskan pemerintah sebelum investor benar-benar mampir.

Satu di antara sekian banyak tunggakan pekerjaan itu adalah memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia yang tahun ini masih bertengger di peringkat ke-109. Posisi itu jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Brunei Darussalam di peringkat ke-84, Thailand ke- 49, atau Malaysia ke-18. Dan, jangan coba-coba bandingkan dengan Singapura yang ada di peringkat ke-1.

Poin yang membuat Indonesia kedodoran di mata Bank Dunia sebagai pemberi peringkat, adalah kemudahan memulai bisnis (starting business). Tahun lalu,  peringkat kemudahan berbisnis di negara ini masih ada di peringkat ke-163. Tahun ini, melorot menjadi 173. Poin minus lainnya adalah ketersediaan pasokan listrik.

Pemerintah sudah berupaya mempermudah izin usaha dengan mengeluarkan 12 paket kebijakan ekonomi secara bertahap sejak tahun lalu. Sayangnya,  bagi pengusaha upaya tersebut dianggap tidak cukup. Mereka mengatakan, banyak kebijakan kemudahan perizinan yang hanya garang di atas kertas namun ompong di lapangan.

Jargon kemudahan izin usaha di tingkat pusat seringkali tidak senafas dengan realitas di derah. Sulitnya pembebasan lahan untuk membuka usaha, yang wewenangnya ada di pemerintah kabupaten dan kota, masih menjadi momok. Kendala pembebasan lahan juga menghantui proyek-proyek jalan dan pembangkit listrik.

Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2016  yang meleset dari target –hanya 4,92 persen dari target 5,3 persen–juga mesti menjadi peringatan dini. Karena, setelah ditelusuri, lemahnya pertumbuhan ekonomi dipicu oleh rendahnya penyerapan belanja pemerintah. Penyakit lama rupanya kambuh lagi. Sempat dikebut di bulan Januari, penyerapan belanja pemerintah kembali kendor di bulan-bulan berikutnya.

Perilaku pemerintah daerah yang gemar mengendapkan dana pembangunan di perbankan juga belum sembuh.  Hingga akhir April lalu, jumlah uang anggaran daerah yang berumah di bank daerah mencapai Rp 220 triliun. Presiden Joko Widodo pun berang, karena nyaris tak ada belanja modal maupun barang yang dilakukan pemerintah daerah dalam periode tersebut.

Tak akan selesai dengan hanya marah-marah, Presiden dituntut untuk mendorong birokrasi pusat dan daerah bergerak. Kucurkan belanja modal dan barang pemerintah secepatnya. Evaluasi terhadap implementasi berbagai insentif dan kemudahan yang dijanjikan Jokowi dalam paket kebijakan ekonomi juga mesti dilaksanakan.

Dari sisi permintaan, daya beli masyarakat wajib dijaga melalui pengendalian laju inflasi.  Investor mana yang mau masuk kalau hasil barangnya sepi pembeli? Tanpa pembenahan di semua sektor, bukan mustahil Indonesia, yang sebenarnya hanya sedikit di atas garis tidak layak investasi (junk bond), terlempar dari zona invesment grade dalam penilaian berikutnya. Tak ada waktu untuk berpuas diri.    (*)

Tak Boleh Kalah Melawan Psikopat

Belum lagi kasus penembakan acak di Magelang, Jawa Tengah terpecahkan, kasus baru dengan modus  kejahatan acak hinggap ke wilayah tetangganya: Yogyakarta. Di Magelang, dalam kurun waktu 6-20 April lalu,  13 orang menjadi korban penembakan senapan angin. Sebanyak 12 orang di antaranya adalah perempuan.

Para korban mengalami luka sobek, lebam, dan bengkak di bagian pinggang, kaki, dan dada. Dari tempat kejadian perkara polisi menemukan peluru senapan angin yang diduga berasal dari senjata penembak. Ketiadaan saksi mata, foto, atau rekaman CCTV membuat polisi kesulitan mengusut kasus ini. Sejauh ini, polisi hanya bisa menyatakan sudah menemukan titik terang pelaku penembakan.

Berhenti di Magelang, kejahatan dengan pola acak “menulari” Yogyakarta.  Dalam satu hari, pada Senin lalu, tiga warga Kotagede dan Umbul Harjo terluka terkena sabetan benda tajam saat sedang berjalan di luar rumah. Kejadiannya berlangsung sekitar pukul 12.00-13.00. Korbannya semua perempuan. Salah satunya bahkan masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar.

Dalam kasus penyayatan, sosok pelaku terekam kamera CCTV, walau tidak terlihat jelas. Warga juga sempat mengejar pelaku saat beraksi di Kotagede. Dari berbagai kesaksian disimpulkan bahwa profil pelaku adalah laki-laki berusia 40 tahun, mengendarai sepeda motor, berjenggot, dan  mengenakan jaket lusuh.

Kejahatan dengan pola acak memang terkenal sebagai kasus yang paling “menantang” untuk dipecahkan. Motifnya bukan dendam atau ekonomi melainkan sekadar mencari kepuasan dari menyakiti orang lain. Pelakunya juga tidak mengenal dan memilih korbannya berdasarkan kesempatan belaka. Repotnya, psikopat ini bisa siapa saja. Mulai dari preman sangar hingga ilmuwan kutu buku.

Walau berat, penegak hukum tentu tidak boleh menyerah begitu saja. Penembakan di Magelang yang berlangsung dua pekan berturut-turut tanpa antisipasi dari kepolisian harus dipertanyakan. Alasan kepolisian bahwa korban terlambat melapor sehingga penanganan kasus sulit dilakukan tidak boleh dilontarkan lagi.

Polisi harus introspeksi. Apa yang membuat warga terlambat melapor setelah kejadian? Jangan-jangan warga malas berurusan dengan polisi karena khawatir justru akan merepotkan dirinya sendiri.  Sebaliknya, korban harus sadar melaporkan kejahatan yang menimpa dirinya adalah bagian dari kewajiban. Sebab, kejahatan dengan modus yang sama bisa menimpa orang lain bila korbannya justru abai.

Pemerintah daerah bisa ikut ambil peran mencegah kejahatan. Memperbanyak penempatan kamera pengawas di tempat-tempat umum akan membuat calon pelaku kejahatan berpikir ulang melaksanakan niatnya. Memperbanyak lampu penerangan di setiap sudut kota juga berguna memberikan rasa aman bagi warga. Sesuai slogan Turn Back Crime yang bermakna bersama-sama melawan kejahatan, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat harus bahu-membahu menuntaskan kasus yang menyebalkan ini.  (*)

Jangan Merugi Dua Kali di Hambalang

Kasus korupsi yang menodai pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang tidak sepatutnya membuat proyek tersebut tersia-sia. Duit senilai Rp 471 miliar yang terlanjur dikucurkan negara akan sangat mubazir kalau dibiarkan berubah menjadi setumpuk bangunan tak terurus.

Karena itu, rencana Presiden Joko Widodo melanjutkan kembali pembangunan kompleks olahraga Hambalang yang mangkrak sejak 2012 adalah langkah tepat. Sebagai aset negara, proyek Hambalang perlu diselamatkan. Apalagi, pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi  pun sudah merestui dilanjutkannya pekerjaan.

Tapi,  prinsip kehati-hatian tetap harus dijadikan saringan utama sebelum memutuskan meneruskan atau menutup proyek konstruksi senilai Rp 1,175 triliun tersebut. Ada banyak alasan. Pertama,  sejarah korupsi yang melilit proyek ini membuat Kejaksaan Agung perlu mensinergikan kajian hukum dengan KPK.

Supaya  Hambalang jilid II benar-benar terjamin, Kejaksaan Agung dapat melakukan audit hukum atas legalitas proyek. Sebab ternyata, dari sisi perizinan saja proyek Hambalang masih menyimpan banyak cacat.  Misalkan, proyek garapan PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya Tbk itu belum mempunyai izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Ketiadaan izin amdal ini saja sudah merupakan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum berpotensi bertambah lantaran  pelaksana proyek ditengarai menabrak  izin mendirikan bangunan (IMB). Rupanya, dari IMB yang hanya untuk bangunan tiga lantai, gedung Hambalang sudah menjulang  sebanyak enam lantai.

Itu baru dari aspek hukum. Dari aspek teknis persoalannya lebih kompleks lagi. Berdiri di atas lahan perbukitan di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat stabilitas tanah di sana harus diteliti ulang.

Tim teknis  Kementerian Pekerjaan Umum sudah menelisik ulang kondisi terakhir bangunan dan tanah.
Hasilnya diklaim memuaskan. Di antaranya, kecepatan pergerakan tanah yang hanya delapan milimeter per tahun dinilai masih baik.  Kedua, kondisi bangunan seluruhnya dalam kondisi tegak dan tidak bergeser. Temuan berikutnya, tidak ada retakan berarti pada struktur bangunan. Terakhir, diakui  terjadi degradasi pada struktur bangunan karena oksidasi.

Sehatnya kondisi terakhir Hambalang tidak boleh langsung dijadikan pembenaran bahwa proyek ini bisa dilanjutkan. Sebab kita tentu belum lupa, pada 2012 ada laporan mengenai dua bangunan yang ambruk di kompleks Hambalang. Runtuhnya bangunan diperkirakan terjadi karena pergerakan tanah.

Secara akal sehat saja, bangunan yang empat tahun terbengkalai kekuatannya pasti sudah menyusut. Tim teknis  diimbau mendahulukan keselamatan dalam menilai kekuatan bangunan.  Jika tim  menyimpan sedikit saja keraguan atas kelayakan proyek ini, lebih baik dihentikan sama sekali.

Pemerintah tidak boleh berkompromi dengan aspek keselamatan.  Setelah semua kajian hukum dan teknis dipastikan bebas masalah, barulah pembangunan Hambalang layak dilanjutkan. Jangan sampai hasrat mengamankan aset negara membuat kita terjebak dua kali dalam pusaran kasus Hambalang.

***

Lampu Kuning Kebebasan Beragama

Memburuknya tingkat kebebasan beragama sudah menyentuh level mengkhawatirkan. Setara Institute melaporkan sepanjang 2015 jumlah pelanggaran kebebasan beragama mencapai 197 peristiwa, naik drastis dari tahun sebelumnya yang sebanyak 134 peristiwa. Jawa Barat menjadi provinsi tertinggi yang melakukan pelanggaran kebebasan dengan 44 peristiwa, disusul Aceh dengan 34 peristiwa.

Pelanggaran terjadi hampir di seluruh wilayah negeri. Persoalan bertambah pelik lantaran tidak hanya melibatkan masyarakat, pemerintah kabupaten dan kota ikut-ikutan melakukan pelanggaran melalui kebijakan yang diskriminatif dan pembatasan kehidupan beragama. Porsinya juga lumayan banyak, 31 pelanggaran atau 23 persen dari total temuan Setara.

Keterlibatan pemerintah daerah ini bisa ditelusuri muaranya pada masa pemilihan kepala daerah. Di masa pilkada, banyak calon yang mengusung sentimen intoleransi keagamaan untuk memobilisasi suara sekaligus menekan popularitas lawannya. Isu yang paling sering digoreng adalah ihwal pendirian gereja, warga Syiah, dan warga Ahmadiyah.

Setelah terpilih, kepala daerah yang menjual sentimen intoleransi mau tidak mau harus membalas budi dengan menuruti kehendak konstituennya, meski harus melawan konstitusi. Tidak hanya untuk membayar utang, ada kepala daerah yang terang-terangan ‘main mata’ dengan kelompok intoleran sebagai investasi buat pemilihan berikutnya.

Para kepala daerah harusnya sadar bahwa eksploitasi isu-isu intoleransi hanya akan meninggalkan masalah bagi daerah tersebut. Banyak peneliti sosial yang meyakini, terorisme berawal sikap intoleransi yang dirawat sehingga berujung pada gerakan radikal. Kalau ini yang terjadi, konstituen sendiri yang akan merugi.

Aparat penegak hukum pun jangan takut bersikap keras terhadap pelanggaran kebebasan beragama. Tak ada yang perlu ditakutkan, karena kebebasan beragama dilindungi oleh Undang – Undang Dasar 1945. Konstitusi menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat. Adapun tugas negara adalah menjamin kemerdekaan beragama penduduknya.

Pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah perlu diperkuat. Calon kepala daerah yang mencoba memainkan isu-isu yang mengancam kesatuan bangsa harus diberi kartu merah. Tidak hanya dilakukan oleh lembaga pengawas pemilu, pengawasan sepatutnya melibatkan masyarakat umum, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.

Masyarakat juga harus diarahkan untuk menjadikan visi toleransi sebagai salah satu ukuran penilaian dalam memilih kepala daerah. Kalau pemahaman akan toleransi sudah terbentuk, tertutup peluang bagi calon kepala daerah menjual isu-isu intoleransi. Sebaliknya, pintu bagi calon yang menjanjikan penghargaan terhadap kebhinekaan akan terbuka lebar.

Pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan. Presiden Joko Widodo pasti tidak lupa akan butir ke-9 Nawa Cita yang bunyinya adalah memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial. Sebagai pemimpin negara, dia dituntut lebih sering berbicara kepada publik untuk menggaungkan kembali pengakuan negara terhadap kebhinekaan dan menolak kekerasan terhadap “yang berbeda”.

(Dimodifikasi dari materi Tajuk Koran Tempo)

Demam Urban Farming

Sakit demam kok gak habis-habis. Belum sembuh dari demam lari, sekarang gue kena lagi demam urban farming. Urban farming ini artinya orang kota yang latah ingin jadi petani… hehehe… Tadi baru ada pelatihan dasar di kantor, teori dan praktek bertani di lahan yang terbatas. Pematerinya dari PT East West Seed Indonesia.  Supaya gue sendiri gak lupa dan siapa tahu bisa bermanfaat bagi orang lain, sebagian materinya gue salinkan di sini:

Jenis Tanah
1.Tanah merah
-Terdapat di lingkungan perumahan baru di perkotaan.
-Tanah ini kurang subur.
-Kalau tanaman memasuki fase pembuahan, tanah ini butuh pupuk organik atau kandang.

2.Tanah abu
-Tipikal tanah persawahan.
-Ciri-cirinya sangat lembek kalau basah dan keras seperti besi kalau kering.
-Tanah jenis ini unsur haranya sudah habis.
-Kalau kering akan membentuk lapisan yang sangat keras di permukaan dan mencekik tanaman.
-Hanya cocok ditanami tanaman kayu/keras.
-Masih bisa diolah dengan mencampurkan dolomit (kapur).

3.Tanah hitam
-Tanah yang subur dengan banyak kandungan unsur hara.

Ciri tanah yang baik
-Tanah hitam
-Periksa apakah lebih banyak tanah atau sekam. Harusnya lebih banyak tanah.
-Tes, kalau setelah dipakai tanaman jadi kuning, ganti tanahnya.

Udara
-Tanaman butuh sirkulasi udara untuk membantu akar menyerap mineral dan air.
-Drainase harus bagus. Tidak ada air yang tersisa di permukaan tanah ketika tanaman disiram.

Air
-Air adalah pelarut dan pembawa ion.
-pH ideal 5-9.
-Air hujan deras bagus untuk tanaman. Tapi hujan gerimis tidak baik, karena membawa kotoran dari udara. Tanaman perlu disiram lagi setelah hujan gerimis.
-Air tanah: mengandung banyak kapur. Tidak cocok untuk fase pemupukan. Tapi bisa dipakai untuk menyiram tanaman sehari-hari.
-Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari dan idealnya pada pagi hari.

Cahaya

-Tanaman butuh cahaya minimal 5 jam sehari.

Pupuk
1.Pupuk kandang
-Dari bahan kotoran hewan.
-Untuk mengetahui pupuk organik yang bagus, baui pupuknya. Kalau masih ada bau kotoran hewan berarti belum matang. Jangan dibeli.

2.Pupuk kimia
-Pupuk NPK = kandungan nutrisi lengkap
-Pupuk urea = mengandung nitrogen. Kekurangan nitrogen ditandai dengan daun berwarna kuning tanpa bercak
-Pupuk KCl = untuk akar. Kekurangan kalium ditandai dengan daun kuning bercak- bercak.
-Pupuk posphate (TSP) = untuk buah dan bunga.  Kekurangan phospate membuat buah kurang manis.

Pemberian pupuk
-Hanya dilakukan kalau tanaman menunjukkan tanda-tanda kekurangan nutrisi.
-Jangan terlalu sering, nanti tanamannya keracunan.

Media tanam

-Media tanam banyak dijual di toko tanaman.  Media tanam yang bagus memiliki rasio tanah : pupuk kandang : pasir : sekam = 2:1:1:1

Syarat benih yang baik
-Lihat tanggal kadaluarsa. Benih yang kadaluarsa daya kecambahanya sudah berkurang.
-Ada jaminan tahan virus.
-Ada jaminan kualitas.
-Ukuran benih seragam.

Peralatan
Tray
-Penyemaian benih pada tray dibutuhkan oleh tanaman yang “manja” seperti tomat.
Gembor
-Untuk menyiram tanaman. Menyiram dengan memakai selang berisiko membuat benih terlempar.
Net
-Benih tomat dan bunga perlu diteduhkan pada pekan awal penanaman.
Grow box
-Kotak tanam dengan tinggi tanah minimal 20 sentimeter

Tomat
-Masa panen 80-90 hari.
-Benih disemai di dalam tray selama 2 pekan atau hingga tinggi 10-15 sentimeter.
-Selama penyemaian jauhkan dari sinar matahari langsung.

Cabai dan tomat
-Benih dimasukkan ke dalam tray semai.
-1 lubang 1 benih.
-Kedalaman 1 buku jari.
-Setelah 2 pekan pindahkan ke tempat baru.
-Satu tanaman satu pot berukuran 20×30 sentimeter.

Bayam
-Masa panen 1 bulan.
-Benih tidak perlu disemai.
-Penanaman bisa dilakukan dengan cara ditabur/dijumput.

Sawi/Bokcoi/Selada
-Penanaman bisa dilakukan secara massal, satu lubang 2-3 benih.

Eliminasi
-Sebagian jenis tanaman, terutama yang nilai ekonomisnya tinggi perlu dieliminasi supaya tumbuhnya baik.
-Kangkung dan bayam tidak perlu dieliminasi karena merupakan tanaman massal. Asalkan tidak terlalu pada dalam satu lubang.

Pemindahan tanaman semai
-Dilakukan pada sore hari supaya tanaman tidak stres.

Bawang
-Tidak boleh lembab tanahnya.
-Harus banyak pasir. Bisa dicampur pasir bahan bangunan. Porsinya 2 tanah : 1 pasir.

Praktek urban farming di balkon lantai 5.

Praktek urban farming di balkon lantai 5.

 

Menyemai benih cabai dan tomat di dalam tray.

Menyemai benih cabai dan tomat di dalam tray.

 

Benih produksi East West Seed.

Benih produksi East West Seed.

 

Bayam percobaan yang kerdil karena tanah kurang tinggi.

Bayam percobaan yang kerdil akibat tanah kurang tinggi.