Daya juang bangsa ini dalam pemberantasan korupsi terus diuji. Pekan lalu, Indonesia Corruption Watch mengungkapkan, pada periode Januari-Juni 2016 mayoritas koruptor hanya divonis rata-rata 2 tahun 1 bulan penjara. ICW pun mengusulkan supaya Mahkamah Agung membuat pedoman bagi pengadilan yang menyidangkan kasus korupsi supaya ada kesamaan sikap menilai kasus-kasus korupsi.
Hukuman yang sudah ringan itu rupanya hendak didiskon lagi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Dua hari sebelum digeser dari posisinya, dia mengatakan pemerintah tengah mengkaji kebijakan agar koruptor tak perlu dihukum penjara. Cukup mengembalikan uang yang dicuri ditambah penalti dan dipecat dari jabatannya.
Alasan Luhut absurd: penjara akan semakin penuh jika koruptor dipenjara. Alasan kedua, penjara ternyata tidak memberikan efek jera bagi koruptor. Pemerintah tidak main-main dengan rencana tersebut. Luhut mengklaim telah membentuk tim pengkaji penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang soal ini. Nama-nama besar di bidang hukum ditempatkan sebagai anggota tim.
Rencana tak masuk akal ini tentu saja harus ditolak. Para koruptor sudah seharusnya merasakan dinginnya lantai penjara akibat kekejian yang dilakukannya. Logika Luhut mengenai minimnya efek jera bisa dipatahkan dengan cara memperberat hukuman. Misalkan melalui perpanjangan masa hukuman atau perampasan aset. Toh instrumennya ada, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Soal penuhnya penjara juga tidak boleh dijadikan alasan. Sebab, masalah ini adalah masalah menahun yang hanya bisa diselesaikan dengan menambah jumlah penjara beserta sumber daya manusia pengelolanya. Solusi ini tidak hanya menepis kekhawatiran Luhut mengenai penjara akan dibanjiri koruptor, tapi juga memperbaiki kondisi penghuni penjara secara keseluruhan.
Selain akan mengaburkan batasan antara perbuatan pidana dan perdata, penghapusan hukuman penjara bagi koruptor—sekali lagi dengan alasan penjara penuh, akan membuat Indonesia tampak aneh di mata dunia. Sebab, di negara manapun, pelaku tindak pidana korupsi pasti dihukum penjara, mengganti kerugian negara, dan membayar denda.
Tanpa hukuman yang keras kepada koruptor, pemerintah dan lembaga peradilan hanya akan memberikan kesan bahwa korupsi adalah kejahatan biasa. Bahkan, jika logika Luhut dipakai, koruptor ibarat penjudi yang sedang sial. Kalau tidak tertangkap uang didapat, kalau tertangkap uang melayang. Tak lebih dari sebuah pertaruhan, tak lagi menakutkan. Di lain waktu, koruptor yang sama berpotensi mengulangi kejahatan yang sama pula.
Lama-kelamaan korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, yang secara tidak langsung membunuh jutaan umat manusia, melainkan sekadar ‘kenakalan’ karena ringannya hukuman. Kita berharap Wiranto yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan lebih bijak ketimbang pendahulunya.
***