Bagaimana Identitas “Batak” Terbentuk?

Di waktu saya kecil,  olok-olok SARA yang paling populer adalah “orang Batak makan orang.”  Separuh geli, separuh jengkel mendengarnya. Mau marah gimana,  konon faktanya memang seperti itu. Akhirnya kami malah ramai-ramai menertawakan olok-olok itu. Tidak ada sakit hati, tidak ada dendam, karena dulu belum banyak orang yang memandang kelewat serius isu SARA.

Kisah yang dituturkan secara turun-temurun  juga mendukung cerita itu. Saya pernah ke sebuah pekuburan batu di Pulau Samosir. Pemandu wisata kami mengatakan, batu-batu kuburan di sana berwarna merah kecoklatan karena diwarnai oleh darah. Saya sih tidak percaya. Masa warna merah darah bisa bertahan ratusan tahun?  Perkiraan saya sarkofagus itu diwarnai dengan tumbuh-tumbuhan.

Dia juga  mengakui, penduduk Samosir zaman dulu kerap memakan tubuh tawanan perang yang sudah tewas. Tapi, kata dia, tujuannya bukan untuk bersenang-senang melainkan untuk menghindari pihak yang membunuh dihantui korbannya. Dengan kata lain, memakan tubuh manusia dilakukan bukan karena masyarakat dahulu kanibal, tapi semata-mata karena kepercayaan dan tradisi.

Suka tidak suka, sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya identitas “bangsa Batak” dimulai dari cerita yang tidak nyaman, termasuk ya…cerita makan-memakan orang itu.  Buku berjudul Kolonialisme dan etnisitas  Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut karya Daniel Perret dan diterjemahkan oleh Saraswati Wardhany, terbitan tahun 2010, yang baru saya baca  memberikan informasi yang sama.

Dituliskan di buku itu, catatan pertama yang mempunyai kaitan dengan masyarakat Batak dibuat oleh geograf Yunani, Ptolemaeus, pada abad ke-2 Masehi. Ia melukiskan, bagian utara Sumatera sebagai sekumpulan pulau yang di antaranya dihuni oleh orang pemakan manusia. Setelah itu, muncul tulisan-tulisan lain dari sumber-sumber pengelana Arab yang memberikan informasi tambahan mengenai cara hidup kanibal di Sumatera.

Pada akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-16, gambaran tentang populasi Sumatera semakin jelas dengan persinggahan Marco Polo di bagian utara Sumatera pada tahun 1291. Ia adalah orang pertama yang mencatat kehadiran Islam dan juga pertentangan antara kaum minoritas penganut paganisme dan sebagian kanibal  yang tinggal di pegunungan.

Nicolo de’ Conti  pada tahun 1430  menjadi orang pertama yang menyebut nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Nama tempat ini ditemukan kembali pada awal abad ke-16 melalui Pires yang menyebut “seorang raja dari Bata” dalam laporannya Suma Oriental.

Nama suku “Bata” muncul berkat F. Mendes Pinto. Ia mungkin adalah orang Eropa pertama yang pergi ke pedalaman utara Sumatera dan meninggalkan jejak tertulis. Dalam Peregrination, penjelajah Portugis ini  mencatat kunjungan duta “raja orang Bata” ke kapten Melaka yang baru.

Tahun 1563, Joao de Barros menggunakan kembali nama suku “Batas” dan menyebutkan bahwa masyarakat kanibal yang  gemar berperang ini menghuni bagian pulau yang berhadapan dengan Melaka. Beaulieu yang mengunjungi Aceh tahun 1620-1621  mencatat bahwa penduduk pulau adalah orang Melayu, tetapi di pedalaman terdapat orang-orang dengan bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa Melayu dan di antaranya ada yang kanibal

Sumber tertulis mengenai kunjungan ke Sumatera bagian utara dari abad ke-17 berasal dari seorang
Tionghoa yang mengambarkan penduduk daerah Panda dan Bata, sepuluh atau sebelas hari perjalanan jauhnya dari Barus yang menghuni gunung dan hutan  dan sama sekali tidak berhubungan dengan orang-orang Melayu dari dataran rendah.  Ia menceritakan secara mendetail cara mereka memakan daging manusia.

Di tahun 1772,  Charles Miller  masuk ke pedalaman Tapanuli. Ia  terkesan oleh keanekaragaman bahasa penduduk di pedalaman yang meski pun demikian memiliki abjad yang sama.  Charles juga  mencatat tentang sebuah
masyarakat kanibal bemama “Battas” yang berbeda dari semua penduduk lain di Sumatera dari segi bahasa, kebiasaan, dan adat.

Dua sintesis tentang Sumatera muncul berturut-turut pada akhir abad ke- 18. Sintesis Radermacher tahun 1781   masih tetap menawarkan pembedaan yang sudah dikenal, yaitu antara orang-orang gunung yang kemungkinan adalah penduduk lama pulau itu  dan masyarakat pesisir yang kebanyakan terdiri dari orang asing

William Marsden menjadi orang pertama yang mempertanyakan kompleksitas masyarakat-masyarakat Pulau Sumatera dalam karyanya  yang terbit di London tahun 1783 .  Radermacher dan Marsden adalah orang-orang pertama yang menawarkan deskripsi mengenai geografi politik “kerajaan orang Battas”.

Pada akhir abad ke-18 itu, nama suku “Batta” (“Batak” menurut Radermacher) sudah diketahui umum sebagai  sebutan untuk mengidentifikasi penduduk di pedalaman utara Sumatera. Tapi, mungkin oleh Marsden sebutan itu terlalu umum. Ia kemudian membuat perbedaan antara penduduk “Carrow” dan “Batta”.

Tahun 1823 John Anderson  bertualang cukup jauh ke pedalaman pesisir timur laut Sumatera. Lebih maju dari Marsden, ia  adalah orang pertama yang mulai menyebut nama-nama “suku”,  yaitu “Mandiling atau Kataran, Pappak, Tubba, Karau-Karau, Kappak, dan Alas”.

Pada tahun berikutnya, Raffles menugasi dua orang misionaris baptis Inggris, Burton dan Ward, untuk mulai mengkristenkan orang “Batak”, dari Sibolga menuju pedalaman “Tanah-Tanah Toba”. Kedua misionaris itu menjadi orang pertama yang memberikan perkiraan batas-batas sebuah daerah yang disebut “Tanah Batak“.

Pengakuan penjajah Belanda terhadap keberadaan bangsa “Batak” ditegaskan dengan dibentuknya jabatan kontrolir urusan “Batak” pada tahun 1888.  Bersama dengan berjalannya waktu, pelan-pelan identitas suku Batak terbentuk seperti sekarang.  Perlu dicatat pula, proses penyatuan identitas tersebut tidak mudah karena masyarakat yang disebut sebagai Batak itu sendiri sebenarnya tidak pernah menyatakan dirinya sebagai bangsa “Batak”.

Kata Batak di masa itu umumnya digunakan oleh orang masyarakat Melayu yang tinggal di pesisir untuk menunjuk kepada sekelompok orang yang tinggal di pedalaman.  Penyatuan identitas Batak semakin rumit dengan munculnya pertentangan antara kelompok Mandailing yang tinggal di selatan dengan  kelompok masyarakat yang berada di utara seperti Toba.  Tapi, syukurlah, setelah melalui perdebatan selama bertahun-tahun, pelan-pelan semua komunitas tadi  melebur menjadi satu seperti sekarang.

Ups, terlewatkan…lantas bagaimana dengan kelompok kanibal yang ada? Buku yang sama menyebutkan, penelitian seorang bernama Anderson mencatat bahwa terdapat suku-suku tertentu yang tidak mengenal kanibalisme.  Kasus kanibalisme terakhir yang dicatat antara 1900 dan 1904 terdapat di suku Simalungun dan terutama di suku Pakpak  yang pada akhir abad ke-19 masih dianggap sebagai contoh paling menonjol di antara pemakan daging
manusia. Sebaliknya, kanibalisme di dalam suku Karo banyak diragukan. Setelah itu, sepertinya ekstistensi kanibalisme telah punah dari bumi Sumatera.  ***

 

Sipirok dalam Secangkir Kopi

wpid-2014-01-09-19.31.03.jpg

Saya baru tahu kalau kopi Sipirok itu cukup punya nama di kalangan pecinta kopi. Saya juga baru tahu ada kopi Mandailing yang  terkenal sejak zaman penjajahan VOC. Mungkin karena saya kurang bergaul,  mungkin juga karena saya bukan penggemar kopi. Kenapa saya tidak suka kopi? Karena rasanya pahit.  Saya malah  heran, kenapa ada orang yang suka yang pahit-pahit, padahal banyak yang manis-manis. Kalau pun terpaksa menyeruput kopi, saya memilih kopi latte.

Tapi, baru-baru ini, rasa ingin tahu  pada sebuah kafe bernama Coffee Sipirock di Galeri Niaga, Tanjung Barat, Jakarta Selatan memaksa saya untuk kembali menyesap aroma kopi. Kafe ini baru berdiri Agustus 2013 lalu.  Warga Depok pasti  tidak asing dengan kafe ini. Karena,  kalau datang dari arah Pasar Minggu atau TB Simatupang pasti melewati tempat di sebelah Gedung Telkomsel itu.

Kafe ini tidak besar. Luasnya kira-kira dua  unit ruko digabung menjadi satu. Karena masuk di dalam  kompleks ruko, pengguna kendaraan pribadi tidak usah khawatir dengan tempat parkir. Tersedia cukup tempat parkir di kawasan itu. Mencarinya juga tidak susah. Papan nama  besar yang dipejeng di atas kafe  membuat tempat ini  terlihat mencolok dari jauh.

100_4414
Coffee Sipirock terdiri dari tiga lantai. Lantai satu berisi ruang makan, dapur, kasir, dan area live music. Lantai dua tempat makan yang lebih modern, dan lantai tiga musala. Tempat yang paling nyaman adalah di lantai satu. Di sini, meja dan kursinya terbuat dari kayu solid yang berasal dari bangkai kapal nelayan di Muara Baru, Jakarta. Sebelum dipakai, bangkai kapal  ditenggelamkan ke dalam laut selama beberapa tahun. Hasilnya, muncul  efek tertentu pada kayu, seperti lubang-lubang akibat digerogoti hewan laut. Konon pula katanya,  kayu yang telah direndam air laut  akan lebih awet.

Menu  utama di kafe ini adalah kopi,  *ya, iyalah.  Saya pesan kopi drip coffee dan coffee latte. Dua-duanya pakai susu. Teknik penyajian coffee latte saya sudah paham. Banyak di mana-mana.  Namun, drip coffee merupakan barang  baru bagi saya.  Drip coffee  dibuat dengan menempatkan bubuk kopi di atas saringan. Ditekan sedikit supaya padat. Di bawah wadah saringan  ditempatkan cangkir.  Lalu, perlahan-lahan air panas dituangkan ke dalam saringan, dan tunggu sampai air kopi menetes ke dalam cangkir.

Drip Coffee.

Drip Cofee.

Hasilnya adalah secangkir kopi  kental, dengan aroma yang kuat, dan rasanya yang pahit sekali. Rupanya,  saya belum mengaduk susu yang  ada di dasar  cangkir. Setelah diaduk barulah rasanya berubah menjadi “normal”.  Kata orang, teknik drip coffee adalah teknik yang dipakai penduduk Vietnam dalam meminum kopi sehari-hari. Untuk pecinta kopi susu,  susu  dapat ditambahkan di dasar gelas sesuai selera. Katanya lagi, drip coffee  memiliki kadar kafein yang tinggi.

Sembari menyesap dua gelas kopi,  saya berbincang-bincang dengan si empunya kafe, namanya Ayub Pulungan. Pakai “S” di tengahnya. Dari cerita karyawan sebuah perusahaan properti itu saya memahami sedikit mengenai kopi Sipirok. Dia menjelaskan kepada saya yang bodoh ini, kopi Sipirok  didominasi oleh varietas Robusta, Liberika, sedikit Arabika,  dan juga kopi luwak liar.  Kopi  ini dinamai kopi Sipirok karena berasal dari perkebunan rakyat di kaki gunung Gunung Sibualbuali dan sekitar kota Sipirok.  “Aromanya khas fruity atau nutty, full body, dan rendah asam,”  kata dia. Artinya apa? Mungkin kira-kira rasanya lebih manis.

Sejarah kopi Sipirok bisa ditarik panjang ke zaman penindasan VOC alias kumpeni yang menjajah tahun 1602-1798. Melalui kebijakan tanam paksa, perusahaan keparat ini mewajibkan  penduduk Sipirok  menanam kopi varietas Arabika di lereng-lereng Gunung Sibualbuali. Tapi,  mungkin karena bibitnya jelek, varietas Arabika gagal total di sana. Banyak yang terserang hama dan tewas. VOC kemudian menggantinya dengan Robusta, dan sukses. Sejak saat itu, kopi Sipirok menjadi sangat terkenal, bahkan diekspor  melalui pelabuhan Natal dan Teluk Bayur, Sumatera Barat dengan merek Kopi Mandheling.

Di masa kini, sebagian warga Sipirok melanjutkan tradisi menanam kopi.  Sentra-sentra kopi rakyat di Sipirok terletak di Sialaman, Saba Tombak, Siijuk, Pangaribuan, Sidua Dua, Liang, Aek Nabara, Saba Tolang, Parau Sorat, Bunga Bondar X, Silaiya, Mondang, dan Arse. Semua tempat dengan nama-nama “asing” itu terletak di sekitar Sipirok. Tidak semuanya asing sih. Sewaktu masih “kader” Pramuka,  saya pernah berjalan kaki selama tiga hari dari Bunga Bondar ke Desa Benteng Huraba, di dekat Padang Sidempuan.  Perjalanan ini diberi nama Pengembaraan Desember Tradisional (Pedestra) untuk menapaktilasi perjuangan rakyat Sumatera Utara melawan agresi militer Belanda kedua 1948- 1949.

Balik ke kopi, Ayub memastikan  seluruh kopi di Coffee Sipirock didatangkan langsung dari sentra kopi di Sipirok. Mengenai jumlah produksi petani di sana, ia   tidak tahu pasti. Ayub hanya memberi gambaran,   seorang pengepul di Sipirok biasa membawa 50 kilogram bijih kopi setiap hari poken  (pekan) ke pasar. Memang persoalannya, karena dikeringkan dengan cara tradisional–dijemur di tepi jalan,  kadar air pada bijih kopi  perkebunan rakyat masih cukup tinggi, sehingga diperlukan pengeringan  lebih lanjut.

Perihal kopi dan pengeringannya saya sedikit-banyak sudah tahu. Jangan iri ya, sewaktu kecil kerjaan saya adalah memetik kopi di kampung saya yang berjarak 22 kilometer dari Sipirok. Bijih kopi yang sudah dikumpulkan kemudian dihamparkan di atas tikar pandan, dan dijemur di pinggir jalan raya selama tiga hari. Saban hari poken, bijih kopi yang sudah kering lantas dibawa ke pasar Sipirok untuk dijual. (Baca juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Gaya Dusun Aeksah). Tapi, yang saya penasaran adalah mengenai kopi luwak liar  yang katanya juga disajikan di Coffee Sipirock. Apa benar hasil pencernaan luwak liar bisa dikumpulkan? Namanya juga liar, bagaimana cara mendeteksi ini kotoran luwak liar atau bukan?  Jangan-jangan luwak yang ditangkarkan?

Ditanya hal itu, Ayub menjamin kopi luwak di kafe miliknya itu berasal dari luwak liar.  Menurut dia, seekor luwak–meski dikata liar, adalah binatang  resik. Luwak selalu membuang kotoran di tempat-tempat yang bersih, seperti di atas batu atau di atas sebatang kayu. Sehingga, kopi yang sudah dicerna luwak bisa dikenali dengan mudah.

Bukan cuma ingin mengembangkan bisnis, Ayub mengungkapkan, niatnya mendirikan kafe adalah untuk menopang sentra-sentra kopi rakyat di Sipirok.  Ia juga bertekad menjadikan Coffee Sipirock sebagai tempat bagi pecinta kopi sejati yang ingin  mencari “the real coffee“, bukan sekadar mencari tempat nongkrong.  Selama kami  berbincang-bincang, alunan lagu Batak yang dinyanyikan dengan bersemangat oleh sepasang remaja di dalam   kafe terdengar sampai luar. Setelah habis dua cangkir kopi, saya pun pamit *tetap bayar dulu ke kasir, bersama keinginan yang semakin dalam untuk suatu waktu menelusuri seluk-beluk kota kecil bernama Sipirok. Lamunan tentang itu sampai-sampai membuat mata ini tidak bisa terpejam hingga adzan Subuh bergema *Duh…dua gelas kopi di malam hari. ***

Sokola Rimba: Orang Rimba Tidak Lagi Kubu

Karena buku Sokola Rimba dibuat film, saya jadi ingat dulu pernah menulis resensinya di Koran Tempo edisi 12 Agustus 2007.

—–
sokola rimba

Orang Rimba Tidak Lagi Kubu

Judul: Sokola Rimba
Penulis: Butet Manurung
Penerbit: Insist Press
Cetakan Pertama: Juni 2007
Tebal: 245 halaman

Runtuhnya langit-langit salah satu ruang kelas Sekolah Dasar Muhammadiyah 11 Solo, Jawa Tengah, Senin lalu, menggenapi hitamnya muka pendidikan nasional. Tiga orang siswa yang berada di dalam kelas pada jam istirahat terluka ringan. Ironisnya, para korban adalah siswa yang tengah berdiskusi tentang pelajaran di dalam kelas.

Dilihat dari sejarahnya, tak mengherankan kalau plafon kelas VI itu jebol. Sejak dibangun pada 1963, sekolah ini baru sekali diperbaiki, itu pun 27 tahun silam. Hampir semua langit-langit kelas terlihat bolong. Bahkan batang-batang bambu dipasang untuk menyokong agar plafon tidak melengkung.

Tahun lalu sekolah ini memang mendapat dana renovasi Rp 50 juta dari pemerintah provinsi. Namun, menurut pengurus sekolah, dana itu hanya cukup untuk membenahi satu ruang kelas. Selebihnya, kelas-kelas yang ada tenggelam dalam keadaan yang memprihatinkan.
Kualitas dan fasilitas pendidikan bangsa ini memang belum memuaskan. Bahkan, karena pendapatan negara turun sekitar Rp 38 triliun dari target Rp 723,1 triliun, anggaran pendidikan 2008 terpaksa ditekan dari Rp 44 triliun (11,8 persen) menjadi Rp 39,5 triliun (10,5 persen).

Tapi anomali selalu saja ada. Di tengah jepitan situasi yang serba sulit, ada saja orang yang tidak mau dihambat oleh keterbatasan. Dengan kemampuan sendiri, mereka berjuang mencerdaskan anak bangsa. Saur Marlina Manurung alias Butet adalah satu di antara pahlawan itu.
Buku Sokola Rimba ditulis oleh Butet berdasarkan pengalamannya menjadi fasilitator pendidikan untuk Orang Rimba, yang tinggal di Hutan Bukit Dua Belas, Jambi, pada September 1999 sampai 2005. Selama rentang waktu itu, ia bergabung dengan Warung Informasi Konservasi (Warsi) dan kemudian mendirikan Sokola.

Kawasan Taman Nasional Hutan Bukit Dua Belas memiliki luas 60.500 hektare, yang meliputi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muaro Tebo, dan Kabupaten Sarolangun. Ada 11 temenggung (kepala rombong atau kelompok), dengan populasi berdasarkan survei Warsi pada 1997, sekitar 1.300 orang.

Memasuki ranah kehidupan Orang Rimba sepertinya tidaklah terlalu menyulitkan Butet. Biar memilih hidup menghindar dari modernitas dan menggantungkan diri semata-mata pada apa yang disediakan hutan, Orang Rimba cukup terbuka terhadap Orang Terang (orang yang tinggal di desa atau kota).

Yang menyulitkan Butet adalah mengajak anak-anak Rimba belajar. Satu bulan pertama, Butet, yang merasa sudah dapat mengajak anak-anak belajar, melakukan satu kesalahan. Tawarannya agar mereka ikut bersekolah ditolak mentah-mentah. Si Butet pun dicuekin sendirian.
Di rombong lain, Orang Rimba dengan tegas mengatakan sekolah tidak ada dalam adat Orang Rimba. Para warga menolak kehadiran Warsi dan Butet karena tidak ingin adat mereka dirusak dengan pendidikan yang dibawa Orang Terang.

Baru setelah delapan bulan keluar-masuk hutan, berkunjung ke rombong-rombong berbeda, kegigihannya mulai membuahkan hasil. Si Bontet (Butet versi lidah Orang Rimba) menemukan cara memulai pelajaran membaca dan berhitung lewat permainan. Sampai akhirnya anak-anak itu bersemangat belajar membaca dan berhitung.

Seluruh narasi di buku ini sangat memukau. Butet, yang sudah terbiasa menulis catatan harian sejak sekolah dasar, piawai menuangkan pengalaman yang diselipi pemikirannya ke dalam buku. Seluruh peristiwa direkam dengan kecermatan tinggi. Pilihan kata yang dipakai luwes, renyah, dan jenaka. Di setiap peristiwa tertera tanggal kejadian. Serupa catatan harian saja.

Buku ini akan semakin komplet jika Butet menyelipkan satu atau dua bab yang khusus mengkaji secara ilmiah pengalamannya bersentuhan dengan Orang Rimba. Jika dilihat dari latar belakang pendidikannya sebagai sarjana antropologi dan sastra Indonesia–keduanya dari Universitas Padjadjaran, Bandung–Bontet punya kompetensi di bidang itu.

Di dalam bukunya, Butet terkesan masih belum menemukan model pendidikan yang tepat untuk Orang Rimba. Begitu pula gambar-gambar yang disajikan, kurang menggigit. Terlalu biasa. Akan sangat menarik jika ada galeri foto seluruh aktivitas sehari-hari Orang Rimba.
Lepas dari itu semua, keseluruhan buku sangat enak dicerna. Dengan membacanya, pikiran kita akan terbuka terhadap kearifan Orang Rimba, yang oleh orang-orang desa sekitarnya disebut Orang Kubu (yang artinya bodoh, kotor, dan primitif). Misalnya, adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penghormatan kepada istri, dan antikekerasan.

Pun yang dapat diteladani dari kisah Bontet adalah kesungguhannya menjadi pendidik. Pertama bergabung dengan Warsi, ia hanya bergaji Rp 500 ribu per bulan. Saat keluar dari Warsi, ia kembali ke hutan dan mengajar Orang Rimba tanpa bayaran dan tanpa pasokan konsumsi. Begitu pula waktu mendirikan Sokola, dengan modal dari kantong sendiri dan sumbangan teman-temannya. Dia layak menjadi inspirasi buat guru-guru di Tanah Air.  ***

Desa Jangga yang Menyimpan Sejarah Batak

Kehidupan suku Batak tradisional masih hidup di Desa Jangga, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Para penduduk desa hidup dengan menjunjung tinggi budaya dan hukum adat di tengah alam yang masih asri. Keharuman nama desa ini bahkan tercium hingga Belanda dan Jerman.

Desa ini berada di lereng Gunung Simanuk-manuk, atau sekitar 24 kilometer dari Parapat, Danau Toba. Biasanya turis singgah ke Desa Jangga setelah menikmati keindahan Danau Toba. Udara desa masih sejuk dan segar. Bila menuju ke sana, cukup menggunakan angkutan umum selama 4-6 jam dari Medan dengan bonus keindahan alam tanah Batak di sepanjang jalan.  Sudah tersedia banyak home stay di sekitar desa.

Rumah adat Batak masih mendominasi desa ini. Usianya ratusan tahun dan masih terawat baik. Di dinding-dinding rumah masih terlihat ukiran khas Batak–disebut gorga. Wisata sejarah juga bisa dinikmati di desa ini. Di ujung desa terdapat dua makam Raja Batak, yakni Raja Tambun dan Raja Ma. (Baca juga: Marga Ritonga, From Pusuk Buhit to The World).

Sambil berjalan-jalan, pelancong akan disuguhi pemandangan para perempuan yang membuat ulos di pekarangan rumah. Ulos buatan Desa Jangga sudah termasyhur hingga mancanegara. Ulos produksi mereka dikenal kuat, memiliki motif yang lebih rumit, dan lebih cantik. Mereka juga dengan senang hati akan mengajari Anda cara membuatnya. Bila Anda tertarik, ulos itu bisa dibeli sebagai buah tangan. (Simak pula: Bertemu Sandra Niessen, Si Ahli Ulos).

(Dikutip dari Edisi Khusus Wisata Majalah Tempo, 18 November 2013)

Tutur dalam Masyarakat Angkola

Sebagai halak hita blasteran Minang, kemudian menjadi perantauan pula, acara  pertemuan dengan sanak-famili yang jauh serasa  ajang perpeloncoan. Pangkal soalnya adalah saya tidak mengenal orang-orang yang saya temui. Apalagi  mengetahui harus memanggil apa kepada mereka. Kalau sudah begitu, jadilah saya  memanggil dengan tutur sapu jagad seperti om, tante, atau pak. Kalau sudah begitu, belum lagi kalimat saya selesai biasanya sudah dipotong dengan kata-kata, “Panggilnya amang boru. Amang boru ini anaknya si anu, bapaknya si itu, tulangnya si ini,” dan seterusnya…. Eh, mana lah ku tahu :))

Seharusnya sih tahu, ya. Karena tutur atau partuturon dalam masyarakat Batak dan sub-etnik Angkola  diperlukan untuk menunjukkan sikap saling menghormati antara yang tua dan muda. Sebagaimana di semua adat Nusantara, memanggil nama kepada sanak keluarga bukanlah sikap yang pantas. Sehingga, cara berkomunikasi tutur dipergunakan sebagai pengganti nama seseorang.

Dalam masyarakat Batak, tutur mempunyai kaitan yang erat dengan perkawinan. Nah, supaya pengalaman bingung saya tidak dialami oleh orang lain, saya mencoba menguraikan tutur yang berlaku dalam masyarakat Angkola yang dirangkum dari berbagai sumber. Dengan mengetahui tutur  dalam pergaulan sehari-hari atau acara adat, niscaya kita bisa mengetahui kedudukan dan fungsi seseorang dalam struktur dalihan na tolu (Baca juga: Tradisi Puasa dan Lebaran: Gaya Dusun Aeksah).

1.Angkang (abang)
2.Iboto/Ito (saudara perempuan/laki-laki atau sepupu. Orang yang dipanggil ito tidak boleh dinikahi)
3.Amang (ayah atau bisa juga panggilan untuk anak laki-laki)
4.Inang (ibu atau panggilan untuk anak perempuan)
5.Nantulang (istri dari saudara laki-laki ibu)
6.Tulang (saudara laki-laki ibu atau panggilan cicit dari anak perempuan kepada buyutnya)
7.Ompung bayo (ompung dari pihak ibu)
8.Ompung suhut (ompung dari pihak bapak)
9.Uda (adik laki-laki ayah)
10.Nanguda (istri uda)
11.Babere/bere (keponakan dari saudara perempuan)
12.Namboru (adik perempuan ayah)
13.Amang boru (suami namboru)
14.Eda (ipar perempuan)
15.Tunggane (saudara laki-laki istri)
16.Lae (panggilan dari tunggane kepada suami saudara perempuan)
17.Tulang poso (naposo artinya yang muda. Adalah panggilan untuk keponakan dari tunggane)
18.Aya poso (panggilan untuk keponakan atau putra tunggane yang diucapkan istri)
19.Bujing (adik ibu)
20.Amang poso (panggilan untuk keponakan laki-laki dari saudara laki-laki)
21.Inang poso (saudara perempuan amang poso)
22.Parumaen (istri dari anak laki-laki alias menantu perempuan)
23.Anggi (adik)
24.Pariban (anak perempuan tulang/namboru)
25.Pahompu (cucu)
26.Inang tobang (kakak dari ibu atau bisa juga panggilan oleh cicit dari anak laki-laki kepada buyutnya)
27.Amang tobang (suami inang tobang)

Mungkin ada pertanyaan kenapa panggilan dari cicit kepada buyutnya menjadi inang tobang? Ini terjadi karena tutur kepada cucu laki-laki berulang seperti kepada ompungnya. Dengan kata lain, cucu laki-laki adalah pengganti dari ompung. Sehingga, anak laki-laki dari cucu menjadi keponakan dari buyut  yang mengakibatkan buyut dipanggil inang/amang tobang (tante/om).

***

Secuplik Silsilah Suku Batak

Manuskrip silsilah Suku Batak ini saya temukan sewaktu melakukan ekskavasi di kaki Gunung Pusuk Buhit, Sumatera Utara. Dari hasil uji karbon diketahui umur manuskrip ini sekitar 5.000 tahun….hehe…gak lah, becanda. Silsilah ini saya rangkum dengan susah dari sebuah buku tua–terbitan tahun 1960-an, yang sudah entah ke mana sekarang.  Saya pikir-pikir, dari pada kertas ini pun ikut raib, tak ada salahnya didokumentasikan ke dalam blog. Mungkin ada gunanya. InsyaAllah pelan-pelan akan saya rapikan. Jadi, kalau ada masukan atau revisi, silakan lho…

Bagian I

Silsilah 1 blog

Bagian II

Silsilah 2 blog

Bagian III

Silsilah 3 blog

Bertemu Sandra Niessen, Si Ahli Ulos

Beberapa hari lalu, seorang perempuan asal Kanada, Sandra Niessen bertandang ke kantor kami. Rupanya, ia adalah antropolog senior yang sudah puluhan tahun meneliti kebudayaan Batak, khususnya kain tradional Batak, ulos. Sandra sudah keluar-masuk kampung di seluruh pelosok Sumatera Utara untuk mendata aneka ragam ulos sejak tahun 1979. Artinya, sudah 34 tahun ia bersentuhan dengan budaya Batak.

“Saya dari Batak Angkola,” kata saya memperkenalkan diri. “Oiya, saya pernah ke Angkola, meski tidak ke semua tempat. Budaya Angkola banyak terpengaruh kebudayaan Minang,” kata Sandra.

Selama masa pengembaraannya itu, ia merampungkan disertasi untuk menggapai gelar doktor di Universitas Leiden, Belanda. Hasil disertasinya mengenai ulos Toba, Simalungun, dan Karo itu kemudian dibukukan dengan judul “ Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia” yang terbit pada tahun 2009. Buku tebal dalam kemasan eksklusif tersebut menampilkan lebih dari 100 desain ulos dalam jumlah dan variasi yang menakjubkan.

Setelah buku selesai, ia kembali ke kampung-kampung yang ia datangi, bertemu lagi dengan para penenun ulos yang pernah menjadi narasumbernya, dan membagikan buku seharga Rp 1 juta itu. Tidak hanya buku, Sandra juga memproduksi video dokumenter mengenai kegiatan penenun yang masih tersisa di Tapanuli.

Menurut Sandra, selama ia blusukan ke kampung-kampung di sekitar Danau Toba, seperti ke Desa Sianjur Mula-mula yang dipercaya sebagai tanah leluhur puak Batak, dan Kecamatan Muara yang menjadi benteng terakhir tenun tradisional ulos, banyak masyarakat setempat yang sudah meninggalkan tradisi memintal kapas dan menenun kain. Tradisi bertenun nyaris punah.

Di sebagian tempat yang masih terdapat penenun, usianya rata-rata sudah renta dan tidak ada regenerasi keahlian ke anak dan cucunya. Kegiatan menenun, kata Sandra, dipandang sebelah oleh kaum muda Batak karena tidak mendatangkan manfaat ekonomis. Ini sangat disayangkan Sandra, karena ia menilai hasil tenun yang baik sesungguhnya tidak dihasilkan dari kegiatan pabrikasi atau industrialisasi, tapi lahir dari hati.

Dalam keyakinan Sandra, “penenun harus memberi jiwa pada karyanya.” Sesuatu syarat yang tidak mungkin lahir dari kegiatan produksi massal. Ia lalu cuplikan menampilkan sebuah film dokumenter. Kalau saya tidak keliru, ini adalah bagian dari film yang berjudul “Rangsa Ni Tonun” karya Sandra dan rekan-rekannya. Di film ini tergambar betapa sulitnya Sandra mencari penenun yang masih tersisa. Jika pun ada, alat tenunnya sudah menghilang, karena  lama tak tersentuh.

“Setiap keluar-masuk kampung saya selalu bertanya, adong do partonun ulos dison (adakah penenun ulos di sini),” kata dia. Lama di Tano Batak membuat Sandra bisa berbahasa Batak.

Di dalam film itu juga ditampilkan mengenai seorang ibu yang sudah sangat renta menenun kain ulos Simalungun di sebuah bengkel motor.  Kain ulos Simalungun ini dibuat dengan benang warna merah menyala. Biasa dipakai untuk tutup kepala perempuan Simalungun. Adegan di sini sangat ironis, si ibu menenun di depan teras bengkel, di depan motor-motor yang sedang diperbaiki. Saat ditanya, menurut penuturan Sandra–karena di film tidak tampak adegan itu, si anak tidak menganggap penting keahlian ibunya menenun karena tidak menghasilkan uang.

Prihatin dengan kondisi itu, Sandra dan rekan-rekannya membuat program Pulang Kampung, yang sekarang sudah memasuki periode Pulang Kampung III. Programnya saya tidak begitu paham, tapi ringkasnya adalah berkunjung ke kampung-kampung di sekeliling Danau Toba dengan mengendarai perahu. Jumlah rombongan di atas kapal sekitar 20 orang yang sebagian di antaranya anak-anak muda yang memiliki minat pada pelestarian budaya.

Di setiap kampung yang dikunjungi, Sandra membagikan buku Legacy of Cloth yang diterbitkan KITLV  Press itu. “Warga kampung akhirnya banyak yang belajar menenun berdasarkan buku yang saya tulis,” ucap dia. Sandra berharap, suatu ketika budaya menenun kembali hidup di tengah masyarakat Batak.  ***

 

 

Dirgahayu ke-68, Indonesia!

image

Tiang bendera ala Pramuka. Kelihatannya sederhana, tapi membuatnya lebih repot. Pertama-tama, pergilah ke toko perlengkapan Pramuka di pasar. Beli dua batang stok (tongkat)  yang lurus dan dua gulung tali Pramuka. Sambung kedua stok  dengan gulungan tali pertama. Gunakan ikatan canggah.

Kemudian, ikat bendera merah-putih pada ujung stok. Gunakan gulungan tali yang pertama untuk menegakkan stok. Bentuk dengan format kaki-tiga seperti gambar di atas dengan simpul ganda. Akhirnya, ikat ujung-ujung tali pada pasak yang sudah disiapkan dengan simpul pangkal. Selesai.

NB: Jika Anda kesulitan menahan tiang tetap tegak sementara Anda mengikat tali pada pasak, minta bantuan si kecil untuk memegangi stok.  Sebaiknya di pagi hari, supaya dia tidak ngomel.

DIRGAHAYU INDONESIA !

Ulos dalam Kehidupan Adat Batak

Sesuai janji saya, kali ini saya mengulas sekelebat mengenai kain tradisional suku Batak yang disebut ulos. Kain ini dibuat dengan menggunakan teknik tenun ikat lungsi. Prinsip pembuatannya adalah dengan mengikat  benang lungsi (benang vertikal), lalu dicelup ke dalam bahan pewarna. Setelah itu, barulah kain ditenun. Teknik inilah  yang kemudian menghasilkan corak-corak yang khas pada kain ulos.

Teknik tenun ikat lungsi ini tentu saja bukan monopoli masyarakat Batak. Konon, teknik ini telah berkembang dari zaman perunggu, sekitar abad ke-8 sampai abad ke-2 sebelum Masehi di pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur.

Di Sumatera, selain di daerah Tapanuli, teknik tenun ikat lungsi juga ditemukan di daerah Aceh. Keunikan di Aceh, teknik tenun ikat lungsi dikombinasikan dengan ragam hias songket benang perak. Di Kalimantan, tenun ikat lungsi dibuat oleh suku-suku Dayak Ot Danum, Bahau, Apo, Bayan, dan suku Dayak Iban.  Tenun ikat lungsi yang terkenal di Sulawesi diproduksi daerah pedalaman di Tana Toraja. Di wilayah Nusa Tenggara Timur, pembuat kain tenun ikat lungsi yang terkenal ada di Sumba, Timor, Flores, Sawu, dan Rote.

Balik ke ulos, kain ini memegang peranan penting sebagai alat dan objek upacara adat maupun sebagai perlengkapan busana. Ulos sebagai alat dan objek adat diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain.  Dalam hierarki adat, pemberi ulos harus lebih tinggi kedudukannya ketimbang pihak yang diberi.

Prinsipnya memang, ulos adalah barang pemberian dari satu pihak kepada pihak lain untuk berbagai tujuan.  Dalam upacara perkawinan, misalnya, pihak keluarga perempuan memberikan sehelai ulos kepada menantu laki-laki yang bernama ulos ragi pako.   Ulos ini berbentuk kain lebar yang dapat menyelimuti kedua mempelai.  Ulos juga diberikan oleh  orang tua kepada anak atau kakek-nenek kepada cucunya. Ulos bisa pula diberikan oleh  kakak atau abang kepada adik laki-laki atau adik perempuan.  Begitu pula ada ulos yang diberikan raja kepada bawahan atau rakyatnya.

Sedangkan berdasarkan jenisnya, ulos dapat dibagi menjadi berbagai jenis. Ada banyak variasi dan sebutannya, tapi  di antara sekian banyak itu ada empat jenis utama yang bertahan sampai sekarang.

A.Ulos Ragidup/Ragi Idup
Ragi artinya corak. Idup artinya kehidupan.  Karenanya, ulos ini sering diartikan sebagai ulos yang melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam  hidup.  Ulos Ragidup merupakan ulos yang bernilai paling tinggi dalam upacara adat Batak.  Cara pembuatan ulos ini juga paling rumit dibanding ulos-ulos jenis lain. Ulos ini terdiri dari lima bidang yang saling berhubungan, yang dibuat dengan cara ditenun dan dikombinasikan dengan teknik jahit tangan.

Dalam proses penenunannya, ada beberapa teknik yang diterapkan yaitu teknik ikat lungsi dan lungsi tambahan pada bagian-bagian tertentu kedua ujung ulos. Keunikan lain ulos ini ada pada bagian yang ditenun warna terang dan putih dengan ragam hias teknik pakan tambahan.

Panjang ulos ini mencapai hampir 2,5 meter dan lebarnya 1,5 meter. Bidang tengah ulos ini disebut badan yang diisi dengan jalur-jalur bercorak ikat lungsi. Di kedua ujung bagian tengah ulos dihiasi bidang putih yang dipadati dengan corak pakan tambahan garis-garis geometris yang halus dan padat. Sedangkan pada sisi kiri dan kanan ulos berupa sebuah jalur warna gelap polos yang dijahitkan pada bidang-bidang tadi.  Ulos ragidup hanya dipakai oleh laki-laki yang sudah mempunyai cucu atau jandanya.

b.Ulos Mangiring
Ulos ini dibuat untuk mengungkapkan rasa syukur atas lahirnya anggota keluarga dalam upacara memberikan ulos atau mangulosi bayi yang baru dilahirkan. Lebarnya sekitar 70 sentimeter dan panjang 165 sentimeter. Ulos Mangiring berupa selembar kain yang dihias jalur-jalur tipis berisikan corak ikat lungsi berbentuk anak panah atau mata panah, berlatar tenunan warna gelap cokelat atau merah marun. Pada masa kini,  Ulos Mangiring sudah dikembangkan dengan warna-warna yang sesuai dengan selera pemesan dan dipakai juga sebagai selendang atau penghias pinggang pada busana modern.

c.Ulos Sibolang
Ulos Sibolang mempunyai ciri berlatar warna biru tua dengan corak ikat lungsi biru muda. Ulos ini dipakai dalam upacara kematian. Di dalam upacara berkabung, seorang istri yang ditinggal suaminya diberikan ulos jenis ini sebagai tanda ia sudah menjadi janda.

Dalam adat masyarakat Batak yang menurut garis keturunan patrilineal, terdapat adat perkawinan levirat. Dalam adat ini bila suami meninggal maka jandanya diperkenakan menikah dengan saudara laki-laki suaminya agar garis keturunan keluarga mereka tidak terputus.

Pemberian ulos kepada janda tersebut menandakan harapan agar ia mau mengawini saudara laki-laki almarhum suaminya. Ulos pemberian ini disebut ulos pandasdas. Cara memakai ulos ini adalah dengan menjadikannya selendang, penutup kepala, atau penutup badan. Pada masa sekarang,  pemakaian Ulos Sibolang diperluas, sehingga dapat dipakai dalam acara-acara gembira.

d.Ulos Ragihotang
Ragihotang bersumber dari kata hotang atau rotan. Secara adat, ulos ini dipakai oleh mereka yang sudah menikah. Kaum laki-laki memakainya sebagai selendang bahu, sedangkan kaum wanita mengenakannya sebagai kain penutup dada atau  rok. Ulos ragihotang  berlatar belakang warna cokelat tua dengan dihias garis-garis halur putih dan diisi hiasan garis-garis terputus yang dibuat dengan teknik ikat lungsi.

Dalam pesta pernikahan,  ulos ini diberikan kepada kedua mempelai dengan maksud agar  ikatan batin pasangan baru itu kuat seperti rotan.  Rupanya, pada zaman dahulu, rotan adalah tali pengikat yang banyak dipakai masyarakat karena paling kuat.  Cara pemberian ulos ini kepada pengantin ialah dengan disampirkan dari sebelah kanan, lalu ujung kanan dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan, dan  disatukan di tengah dada seperti terikat.

Bukan hanya upacara pernikahan, Ulos Ragihotang  pun sering dipakai dalam upacara adat kematian sebagai pembungkus atau penutup jenazah yang akan dikebumikan. Pemberian Ulos Ragihotang kepada jenazah ini  mengartikan bahwa pekerjaan seseorang di dunia ini telah selesai.

Adapun cara  pengenaan ulos pada pesta atau upacara adat bermacam-macam. Ulos bisa dikenakan di bahu atau leher untuk penghormatan. Ulos bisa diletakkan di bahu (dihadang atau disampe-sampe),  dipakai menjadi sarung  (diabithon), dililitkan di kepala (dililithon),  atau  dipakai sebagai penggendong  beban (disabukkon).

SUMBER: Buku Tenun Ikat (Suwati Kartiwa), dan sumber-sumber lain

Tradisi Puasa dan Lebaran: Gaya Dusun Aeksah

Jika ditanya, kenangan apa yang paling membekas saat melaksanakan ibadah puasa dan Lebaran? Saya yakin, sebagian besar kita akan terbawa pada memori masa kecil. Alasannya banyak. Bisa karena masa-masa itu semuanya serba indah dan mudah, atau  karena banyak orang-orang yang dulu berpuasa bersama kita, kini sudah tidak ada lagi.

Saya sendiri paling senang kembali ke masa-masa akhir 1970-an sampai  1990-an.  Ketika itu, saya masih tinggal di Medan dan kerap menghabiskan hari-hari terakhir berpuasa dan Lebaran  di kampung bersama keluarga besar.   Biasanya, dua  hari menjelang Lebaran kami sudah tiba di kampung.

Kampung kami yang benar-benar kampung itu, terletak di sebuah dusun bernama  Aeksah, Kecamatan Pahae Jae, Tapanuli Utara, Sumatera Utara.  Jaraknya dari Medan sekitar 325 kilometer atau  8 jam perjalanan darat. Rutenya melewati Perbaungan, Sei Rampah, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Parapat, Balige, Siborong-borong, dan Tarutung.

Tadinya, kedua ompung kami tinggal di Banjar Tikus, Kota Sipirok, yang sekarang jadi Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan. Kota kecil itu berjarak sekitar 22 kilometer dari Aeksah. Setelah pensiun sebagai pegawai sebuah sekolah di sana,  ompung pindah ke Aeksah. Saya sempat juga mencicipi puasa dan Lebaran di rumah Sipirok.

Rumah kami di Sipirok berlantai dua dan sebagian berbahan kayu. Dindingnya berdempetan dengan  rumah tetangga di kiri dan kanan.  Berhubung waktu itu masih terlalu kecil, tidak banyak yang saya ingat. Cuma, satu kebiasaan  yang paling membekas adalah saya biasanya tidur di lantai dua, sedangkan kamar mandi ada di lantai satu.  Sering di malam hari, kalau kebelet  pipis dan malas ke bawah, saya cukup  membuka jendela di kamar lantai dua, dan….

Khawatir ada yang melihat? Ya, tidak. Karena pada masa itu penerangan masih seadanya–saya tidak ingat apakah listrik sudah ada atau belum. Yang jelas, untuk menyalakan televisi tabung hitam-putih harus menggunakan catu daya dari aki mobil, yang tiap tiga hari harus dibawa ke pasar untuk dicas.

Begitulah, sekitar saya SD, ompung pindah ke Aeksah, persis di tepi Jalan Raya  Lintas Sumatera yang menyambungkan Aceh sampai ke Lampung. Bicara soal listrik, beberapa tahun lamanya kami sempat merasakan kondisi tanpa listrik di Aeksah.  Andalan satu-satunya, ya, aki mobil untuk menyalakan radio. Untuk penerangan kami  mengandalkan lampu petromaks.

Televisi? Tidak ada satupun gelombang stasiun televisi yang sudi mampir ke Aeksah pada waktu itu. Radio pun biasanya radio luar negeri yang memancar lewat gelombang SW.  Sekarang? Jangan ditanya. Semua operator seluler sudah ada memamerkan sinyalnya di sana.

Menjelang berbuka, hari mulai gelap, berjejerlah kami para cucunya yang datang  dari Medan, Dumai, dan Sibolga di teras rumah, di hadapan lampu-lampu petromaks yang siap dipompa. Minyak tanah sudah diisi, spiritus sudah dituang, kaos lampu masih oke, siap…mulailah tangan-tangan mungil memompa petromaks sampai suaranya menderu-deru. Kaos lampu berubah menjadi putih terang, pertanda hembusan minyak sudah maksimal.

Beberapa dari lampu-lampu itu kemudian digantungkan di rumah, dua lagi dibawa ke masjid yang berjarak sekitar 400 meter dari rumah. Kecuali khutbahnya yang memakai bahasa Batak yang tak saya pahami, salat tarawih di sana normal. Jumlahnya 11 rakaat.  Cuma, karena jaraknya yang cukup jauh dan jalanan gelap,  biasanya kami melewatkan tarawih di masjid.

Sayangnya, entah karena apa, saya juga malas mencari tahu, belasan tahun lalu, pengurus masjid pecah kongsi. Terbelah. Dusun yang penduduknya cuma beberapa ratus orang itu pun terpaksa memiliki dua masjid. Pengurus lainnya mendirikan masjid baru di dekat rumah kami.

Enaknya puasa di kampung adalah udaranya yang dingin membuat puasa jadi tidak terasa. Sambil menunggu berbuka kami bermain di kebun dan sawah.  Dusun Aeksah dibangun di lereng bukit, termasuk rumah kami. Di depan rumah, dipisahkan oleh jalan, terdapat bukit yang ditumbuhi pohon karet, durian, dan kopi. Sedangkan di lembah di belakang rumah ditumbuhi pohon durian dan kopi.

Permainan yang paling menyenangkan adalah berburu binatang di kebun dan sawah di belakang rumah. Berbekal senapan angin yang disiapkan untuk memburu tupai perusak tanaman, kami serasa jadi pemburu profesional. Mencoba menembak burung, tupai, atau burung ayam-ayam yang sering hinggap di tali air sawah.  Untunglah, ketika itu tidak ada satu pun hewan yang berhasil ditembak jatuh oleh para pemburu amatir ini.

ARSIK
Di sebelah sawah di belakang rumah, terdapat kolam ikan mas. Ukurannya kira-kira 10×15 meter. Beberapa bulan menjelang Lebaran ompung selalu menebar bibit ikan mas di sana. Jadi, tiba waktunya Lebaran, ikan-ikan  sudah besar dan siap disantap. Nah, salah satu kegiatan yang paling ditunggu-tunggu  adalah menangkap ikan mas di kolam.

Menangkap ikan mas di kolam gampang-gampang susah.  Pertama, tambak harus dikeringkan dulu. Airnya dibuang lewat saluran pembuangan ke tali air.  Setelah surut menjadi kira-kira setinggi 30 sentimeter, barulah kami masuk ke dalam kolam yang penuh lumpur itu.

Lantaran tangguk cuma ada dua, sebagian besar kami memilih menangkap ikan memakai tangan kosong. Lebih merepotkan karena ikannya licin dan sudah besar-besar. Meski begitu, dengan tangan kosong  acara menangkap ikan menjadi lebih menyenangkan.

Bayangkan susahnya menangkap ikan di atas lumpur. Jalan saja setengah mati, apalagi harus mengejar si ikan yang lari ke sana-ke mari. Setelah satu jam, barulah semua ikan bisa ditangkap. Jumlahnya mencapai puluhan ekor.  Selanjutnya, ikan yang telah dicuci di sungai dibawa ke rumah untuk diolah menjadi arsik.

Arsik  ini adalah salah satu hidangan khas Tapanuli yang sangat populer.  Cara membuatnya,  ikan mas yang sudah disiangi, ditiris, dicuci bersih, dan dibiarkan utuh. Kemudian, badan bagian luar ikan  dilumuri dengan bumbu yang sudah disiapkan.

Bumbu-bumbu itu adalah cabai merah,  bawang merah, bawang putih, jahe, kemiri, andaliman (merica Batak), kunyit, dan garam.  Setelah itu, masukkan  kacang panjang dan 3-5 batang serai ke dalam perut ikan. Alas  dasar wajan dengan sisa serai sampai tertutup rapat. Letakkan ikan di atas serai, lalu tuangkan air. Tutup wajan dan masak di atas api kecil sampai kering. Dan, voila…this is it, sajian ikan mas dengan topping berwarna kuning meriah yang menggugah selera.

MANGALOMANG
Bersamaan dengan mengolah arsik,  sehari menjelang Lebaran ompung dan geng inang boru juga mulai  mangalomang atau memasak lemang. Bahan-bahan lemang sederhana, yaitu campuran antara beras ketan, santan, dan garam.  Bahan-bahan yang sudah disiapkan  dituang ke dalam satu ruas  bambu. Di dalam bambu  dilapisi terlebih dulu dengan daun pisang supaya lemang tidak lengket.

Bambu kemudian ditegakkan berjejer di atas kayu dan dibakar pakai arang atau kayu bakar.  Membakar lemang ini cukup lama waktunya. Bisa setengah harian. Lemang juga harus dibolak-balik supaya matangnya merata. Setelah  matang, batang bambu dibelah dan dikeluarkan lemangnya.

Lemang biasanya digunakan sebagai sajian untuk hidangan makan pagi sebelum salat Ied. Lemang paling mantap disajikan bersama durian. Pas, karena lemang bisa menetralisasi rasa manis durian. Kelebihan lainnya, dengan memakan lemang bersama durian, jumlah durian yang kita santap menjadi lebih sedikit.

MADABU TARUTUNG
Durian di kampung tidak perlu beli. Tinggal menunggu ‘durian runtuh’ dalam arti sebenarnya. Sudah saya ceritakan tadi, belasan pohon durian tinggi besar  tersedia di kebun di depan rumah dan di lembah di belakang rumah. Menunggu durian runtuh ini juga kegiatan wajib menunggu berbuka.

Apalagi di era kegelapan ketika PLN belum melirik Aeksah, menunggu durian jatuh  adalah kegiatan mengasyikkan. Tak peduli siang atau tengah malam, jika terdengar suara gedebuk–pertanda ada buah durian yang mendarat di tanah, orang yang pertama mendengarnya harus meneriakkan, “Madabu tarutung, madabu tarutung,” (jatuh durian, jatuh durian). Secepat Ben Johnson (sprinter zaman dulu) kami pun berlarian ke arah suara itu. Berbekal senter seadanya, pencarian terkadang butuh waktu lama. Tapi begitu  ketemu, rasanya senang luar biasa.

Saat musim durian, kadang jumlah durian yang terkumpul melebihi kemampuan makan belasan anak-cucu yang hadir. Dari pada busuk, durian itu  kami jajakan di tepi jalan. Tempatnya seadanya. Papan-papan kayu dipaku menjadi meja  darurat. Durian diletakkan saja  di pinggir tepi jalan. Tidak berapa lama pasti ada saja pemudik yang mampir. Kalau tidak salah ingat harganya ketika itu Rp 5 ribu-Rp 10 ribu per buah. Lumayan, kalau bisa terjual 10 buah, berarti Rp 100 ribu di tangan.

MAKKOBAR
Hari terakhir berpuasa pun tiba. Malam harinya, seperti biasa, warga kampung ikut  meramaikan malam dengan takbiran. Tidak hanya dari Aeksah, takbiran dimeriahkan  pula oleh warga-warga dari kampung lain di Pahae. Jangan dibayangkan jarak antar kampung menempel rapat seperti di kota besar. Jarak antar kampung di Pahae paling sedikit 3 kilometer.

Selepas berbuka, mulailah muncul keramaian. Warga kampung menyewa beberapa truk  yang penuh diisi  anak-anak kecil. Di atas kap truk diletakkan speaker besar yang dicomot dari masjid. Sambil berkeliling, gema takbir berkumandang dari atas truk. Kami pun tak mau ketinggalan. Ikut mengiringi dengan mobil dari belakang.

Besoknya, sesuai tradisi masyarakat Batak, sebelum menuju ke lapangan untuk salat Ied, kami sekeluarga berkumpul di ruang tengah rumah. Kursi-kursi digeser, tikar dan karpet dibentangkan. Sebelum menyantap hidangan, ada acara wajib yang dinamakan makkobar.

Dalam sesi ini, seluruh anggota keluarga harus menyampaikan sepatah-dua patah kata yang intinya ucapan mohon maaf lahir dan batin kepada seluruh keluarga. Makkobar selalu dimulai dari cucu yang paling bontot, kemudian ke anak yang paling bontot, terus bergiliran sampai akhirnya sampai ke ompung godang (kakek laki-laki).

Teorinya hanya sepatah-dua patah kata, tapi prakteknya, makin tua umur pembicara, makin panjang pula petuah yang disampaikan. Banyak orang yang bilang, tradisi  makkobar ini yang membuat orang Batak jago berbicara di depan umum dan adu argumentasi. Terbukti, jagad hukum sekarang dikuasai orang Batak.

Tapi, terus terang, makkobar ini yang selalu bikin saya senewen tiap tahun. Gimana gak, malamnya harus membuat konsep apa yang mesti disampaikan besok. Harus ada kalimat yang baru, dong. Doanya juga mesti tambah variatif, masa’ sama dengan tahun lalu. Ya, begitulah saban tahun.

Habis makkobar dan sarapan, sekitar pukul 7.00 kami pun beramai-ramai berangkat ke tanah lapang yang berjarak 500 meter dari rumah. Tanah lapang itu sebenarnya halaman rumah warga yang sangat luas, jadi bisa dipakai untuk salat seisi kampung.

Salat di Tapanuli Utara sama dengan salat umat Islam di seluruh dunia. Dimulai dengan takbir, kemudian khutbah Ied, dan ditutup dengan salat dua rakaat. Yang membedakan paling khutbahnya yang menggunakan bahasa Batak yang hanya 10 persen yang bisa saya cerna.

Selesai salat, kami kembali ke rumah. Sampai tengah hari biasanya, kami tidak bisa kemana-mana. Sebagai orang yang cukup dituakan di kampung itu, ompung ramai menerima tamu. Anak-anaknya pun harus siaga di rumah. Selain untuk bersilaturahim, tugas paling penting menyiapkan amplop untuk dibagikan kepada anak-anak kecil yang datang.

ABIT
Begitu tamu  mulai berkurang–sebenarnya tidak pernah sepi sampai malam, anak dan cucu biasanya pergi ke Sipirok untuk jalan-jalan. Sepanjang perjalanan 20 kilometer lebih menuju Sipirok yang masuk ke Kabupaten Tapanuli Selatan itu, akan terlihat parade baju baru anak-anak maupun orang tuanya. Biasanya warna-warna yang dipilih adalah cerah yang ngejreng.

Uniknya di sana, meski sudah memakai baju baru, tetap saja sehelai sarung atau abit terlempang di pundak atau di pinggang mereka. Jadinya kontras dengan baju serba baru dari kepala ke kaki yang mereka kenakan. Lah, keren-keren kok pakai sarung. Namun, itulah tradisi masyarakat Tapanuli. Mungkin karena sehari-hari terbiasa mengenakan sarung untuk menghalau dingin, saat Lebaran pun sarung harus ikut.

Masyarakat Batak, sebagaimana banyak suku lain di Nusantara, memang sangat lekat dengan kain-kain yang dibuat dengan teknik menenun (proses membuat kain dengan cara menyilangkan dua set benang secara vertikal-horisontal). Kain tradisional masyarakat Batak dikenal dengan nama ulos.

Ulos dibuat bukan dengan teknik tenun biasa, melainkan dengan teknik tenun ikat. Disebut tenun ikat karena pada saat benang hendak diwarnai, benang dikumpulkan, diikat satu per satu, baru dicelupkan ke cairan pewarna. Metode ini yang menghasilkan corak-corak tertentu dari kain.

Ulos banyak jenisnya, tergantung tujuan penggunaannya. Misalkan, ulos untuk dipakai sehari-hari (ulos Sirampat) berbeda ulos dengan ulos untuk upacara adat (ulos Ragidup atau ulos Ragihotang) , beda pula dengan ulos  untuk berkabung (ulos Sibolang). Ah, soal ulos dibahas nanti ya, sekarang perjalanan kita lanjutkan ke Sipirok dulu…

AEK LATONG
Jarak perjalanan ke Sipirok tidak terlalu jauh, hanya sekitar 20 kilometer. Lalu-lintas juga sepi dan lancar. Tapi, jangan dikira perjalanan bisa ditempuh dengan cepat. Salah satu hambatan ada di sebuah daerah yang bernama Aek Latong. Di sini ada jalan ‘maut’ sepanjang 3-4 kilometer yang dari tahun ke tahun selalu anjlok sedalam puluhan meter.

Sudah banyak korban jiwa yang menjadi tumbal di kawasan ini. Pilihan kecelakaan ada dua.  Pertama, mobil bisa terlempar ke jurang karena terlambat mengurangi kecepatan sewaktu memasuki jalan yang tiba-tiba menurun tajam. Kedua, mobil terseret ke bawah karena tidak kuat menaiki tanjakan curam.

Selain jebakan jalan turun, tantangan di jalan mendaki juga berat. Terutama di musim hujan.  Bus-bus besar dan sedang biasanya menurunkan semua penumpangnya sebelum mendaki di jalan ini. Beberapa bus yang nekad tak menurunkan penumpang atau mengurangi muatan harus menerima nasib melorot ke bawah atau terguling. Konon kabarnya, ada satu bus yang terguling dan masuk ke dalam rawa berair yang di sisi jalan. Semua penumpangnya tewas tenggelam.

Untungnya, saya dengar kabar,  jalur Aek Latong kini sudah digeser oleh Kementerian PU sekitar satu kilometer dari jalan aslinya. Jalan baru sepanjang 2,9 kilometer yang dibangun dengan biaya Rp 60 miliar sudah beroperasi tahun ini. PU  mengakui,  penanganan jalur Aek Latong sangat berat.

Pasalnya, kondisi alam Aek Latong  tepat berada pada patahan bumi Sesar Semangko, sehingga selalu terjadi  patahan yang sangat besar di badan jalan. Kondisi inilah yang menyebabkan rusaknya badan jalan. Masalah lainnya, jalur tersebut  berada pada daerah lereng  gunung yang curam. Ditambah curah hujan yang tinggi, lengkap sudah kerawanan di jalur Aek Latong.

Dari berbagai literatur diketahui bahwa sesar atau patahan Semangko adalah istilah yang merujuk pada bentukan geologi yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan, dimulai dari Aceh hingga ke Teluk Semangka di Lampung.

Patahan inilah membentuk Bukit Barisan,  rangkaian dataran tinggi di sisi barat Sumatera. Patahan Semangko berusia relatif muda dan paling mudah terlihat di daerah Ngarai Sianok dan Lembah Anai di dekat Bukittinggi.

Sesar Semangko ini, kata pakar kegempaan Danny Hilman, sebenarnya masih bagian dari sesar Sumatera yang terjadi akibat tunjaman yang miring dari lempeng Indo-Australia terhadap Eurasia.

Danny membagi patahan Sumatera sepanjang 1.900 kilometer menjadi 19 segmen besar. Mulai dari segmen Sunda di ujung selatan, Semangko, Kumering, Manna, Ketaun, Dikit, Siulak, dan Suliti. Kemudian Sumani, Sianok, Sumpur, Barumun, Angkola, Toru, Renun, Tripa, Aceh, dan Seulimeum. Tiap segmen  panjangnya beragam, mulai dari 35 sampai 220 kilometer.

Gempa darat yang disebabkan patahan itu sangat dangkal, hanya pada kedalaman 10 kilometer, sehingga memicu efek getaran sangat besar dan dapat menggoncang lapisan bumi dengan kuat walaupun magnitude-nya kecil. Wilayah yang dilalui patahan Semangko ini sangat rentan terhadap longsor.

Tuh, beralasan kan, mengapa Aek Latong sulit sekali ditangani.


SIPIROK

Tiba di Sipirok banyak kegiatan yang bisa dilakukan. Pertama-tama, kita harus melewati hiruk-pikuk pasar yang ada di tengah kota.   Saya ingat, waktu kecil, ompung masih sering berdagang di pasar ini. Sebelum terbakar habis dan dibangun kembali menjadi lebih modern, dagang di pasar ini masih lesehan. Ompung menggelar tikar dan berdagang hasil bumi dari Aeksah.

Ada telur ayam, sayur-mayur dan buah-buahan. Kerja saya yang niatnya ingin membantu biasanya cuma ngerecokin atau mecahin telur. Satu lagi, bakat terpendam dari kecil sampai sekarang adalah nyasar. Beberapa kali saya nyasar di pasar yang cukup besar itu. Apalagi dulu kondisi belum serapih sekarang.

Tujuan utama di Sipirok ada dua yakni pemandian aek milas (air panas) Sosopan dan Tor Simago-mago (tor artinya gunung, mago artinya hilang). Aek milas sosopan terletak di pertengahan jalan menuju simago-mago. Dari Sipirok ke Sosopan jaraknya sekitar 5 kilometer. Ditambah sekitar 3 kilometer lagi menuju Simago-mago.

Aek Milas Sosopan ini adalah pemandian umum air panas yang gratis.  Gak kalah dengan onsen di Jepang, lah. Letaknya persis di tepi jalan.  Bedanya dengan onsen, di sini gak boleh mandi tanpa busana. Bedanya lagi, di Sosopan tidak ada orang yang bisa berendam, saking panasnya air di sana. Pengunjung hanya duduk di tepi kolam lalu mandi dengan air yang sudah didinginkan di dalam gayung.

Tahun lalu saya ke sana, rasanya kok ada penurunan. Sangat jorok. Sampah sampo dan sabun di sana-sini. Dulu lebih bersih. Entahlah. Selain di Sosopan, pemandian air panasnya lainnya ada di Padang Bujur. Tempatnya agak jauh ke dalam. Mungkin karena itu tempatnya menjadi kurang popular meski  kabarnya lebih bersih. Saya pernah ke sana, tapi tidak pernah mandi, hanya nongkrong di warung.

Adanya sumber mata air panas di satu wilayah biasanya menunjukkan ada aktivitas gunung api di sana. Di Sipirok juga begitu. Kota ini bertetangga dengan Gunung Sibualbuali (1.819 meter di atas permukaan laut), yang termasuk gunung api aktif kategori B. Artinya, meski aktif, gunung ini tidak pernah menunjukkan aktivitasnya sejak tahun 1.600-an.  Kata para ahli geologi, gunung ini terbentuk akibat amblasan (graben) sesar Sumatera yang berarah baratlaut-tenggara, sedikitnya terbentuk tiga kawah besar pada bagian puncak dan lerengnya.

Sedangkan Gunung Si Mago-mago yang jadi obyek wisata populer warga setempat hanyalah bukit kecil yang sama sekali tidak aktif. Bagi yang memakai kendaraan, bisa membawa kendaraannya naik ke atas puncak, karena sudah disediakan jalan beraspal yang landai. Mau jalan pun tidak sulit. Paling sekitar 15 menit sudah tiba di puncak. Dekat, kan.

Konon, dinamakan Si Mago-mago karena orang yang datang ke  Si Mago-mago akan kelihatan hilang-timbul jika sudah di atas puncaknya. Benar-tidaknya saya tidak yakin. Karena selama ke sana tidak pernah ada yang hilang, tuh. Pemandangan dari atas gunung cukup menyenangkan mata. Angin dingin yang menyapu badan juga nyaman untuk menjadikan gunung ini sebagai tempat kongkow yang murah-meriah.

Oiya,  datang Sipirok   kurang paripurna kalau tidak mampir ke rumah makan sop Sipirok di dekat pasar. Sop iga sapi di sini terkenal enak, sepadan dengan harganya. Pemiliknya juga sudah membuka cabang di Medan. Satu lagi penganan favorit saya adalah keripik sambal Taruma. Ini adalah keripik singkong yang di dalamnya dikasih sambal ulek merah. Keripiknya sih biasa,  sambalnya itu yang bikin ketagihan.

**