Belajar dari Perseteruan Mandailing-Batak

Membaca buku Kolonialisme dan etnisitas  Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, karya Daniel Perret dan diterjemahkan oleh Saraswati Wardhany, terbitan tahun 2010, menjadikan saya tahu bahwa kelompok  Mandailing dan  Batak  pernah berseteru hebat di awal tahun 1900-an. Bahkan, kabarnya, perseteruan itu tidak sebatas di ruang seminar atau media massa, tapi juga sudah sampai ke bentrok fisik.

Orang Mandailing yang tinggal di selatan Tapanuli, yang kebanyakan sudah merantau  dan berpendidikan tinggi pada masanya, tidak mau disebut sebagai bangsa  Batak. Pangkal soalnya adalah pandangan orang Barat yang membedakan antara  Batak  dan Melayu. Mereka menolak identitas scbagai orang  Batak  lantaran pada masa itu  sebutan  Batak  dinilai berkonotasi memalukan, tidak berpendidikan, dan terbelakang.

Pertama-tama, mereka  menganggap diri  sebagai orang Melayu, kemudian, seiiring dengan berkembangnya komunitas pendatang, mereka memperkenalkan diri sebagai  Mandailing.   Identitas baru ini ditabalkan pada sertifikat-sertifikat, akta-akta dan lamaran pckcrjaan. Mereka memang menganggap bahwa orang dari dataran tinggi di sebelah utara Tapanuli terbelakang.

Orang yang menyatakan diri beridentitas Mandailing bukan hanya orang yang berasal dari daerah Mandailing tetapi juga dari daerah Sipirok, Angkola, dan Padang Lawas. Upaya melepaskan diri dari stigma Batak ini mulai mengeras pada tahun 1910-an. orang Mandailing menyatakan bahwa, menurut sejarah dan silsilah, tidak ada hubungan antara orang Mandailing dan orang Batak. Mereka meminta untuk diperlakukan scbagai “bangsa” tcrsendiri, yaitu “bangsa Mandailing”.

Konflik terbuka mulai terjadi di tahun  1919, di sebuah perusahaan Medan bernama Sjarikat Tapanuli. Perusahaan ini,  sebagian pemegang sahamnya mengaku  Batak, dan sebagian lain Mandailing.  Pada suatu  pcmungutan suara dalam sebuah rapat umum, pemegang-pemegang saham  Batak  hanya memberikan suara untuk orang  Batak, sementara pemegang-pemegang saham Mandailing memberikan suara untuk orang  Batak  dan juga Mandailing. Akibatnya, orang Mandailing tidak puas dan  membentuk  perkumpulan sendiri: Sjarikat Mandailing pada Desember 1921.

Salah satu keputusan pertama Sjarikat Mandailing adalah mclarang orang bukan Mandailing untuk menjadi anggotanya. Oleh karenanya, penduduk daerah Sipirok, Angkola dan Padang Lawas harus memilih identitas Mandailing atau Batak. Setelah berlangsung banyak diskusi antara angkatan muda dan tua di Medan, bulan Februari 1922, mereka mengumumkan bahwa mereka adalah orang Batak.

Pertikaian  berlanjut di media massa.  Salah satunya melalui harian Pewarta Deli. Di sini para kolumnis pendukung masing-masing kubu beradu argumentasi mengenai identitasnya masing-masing. Mereka berdebat panjang mengenai nenek moyang Mandailing dan Batak, siapa yang lebih dulu tinggal di Sumatera, atau membahas kelebihan kelompoknya masing-masing.

Pertengkaran meningkat ke level fisik. Peristiwa yang terkenal adalah  kasus Pekuburan Sungai Mati  di Medan tahun 1922.  Ceritanya, pada  Agustus 1922 pecah kasus pekuburan Sungai Mati di Medan.   Pedagang-pedagang Mandailing di kampung Kesawan telah membeli sebuah lahan dari seorang bangsawan Melayu yang kemudian menjadi tanah wakaf dan digunakan sebagai pekuburan sejak 1889.

April 1922, para pengurus pekuburan memutuskan bahwa setiap pemakaman harus mendapatkan izin sebelumnya, dengan alasan bahwa pekuburan itu disediakan khusus untuk menguburkan orang dari “bangsa Mandailing”, atau berasal dari Mandailing, atau pun yang mengaku sebagai Mandailing. Dengan berpedoman pada gagasan itu, pengelola pekuburan memutuskan untuk melarang orang Batak menguburkan jenazah orang yang tidak diakui sebagai orang Mandailing.

Pada awal bulan Agustus,  orang Batak dari Sipirok sedang mengadakan acara penguburan di Sungai Mati. Upacara itu ditolak oleh orang Mandailing.  Tapi, karena orang Batak berkeras dengan alasan sudah sejak dulu menguburkan keluarganya di sana,  sejumlah anggota bangsa Mandailing sudah bersiap-siap untuk menghadapi bentrokan. Pada sore harinya, sudah ada sekitar seribu orang yang berkumpul di pemakaman untuk mencegah penguburan Batak.  Akhirnya, jasad orang  Batak  itu  dikuburkan di luar pemakaman, di dekat Sungai Kerah.

Atas kejadian tersebut, sebagian raja-raja Mandailing meminta kepada pemimpin-pemimpin “bangsa” untuk datang ke daerah memperkenalkan pandangan mereka.   Sebagai balasan, bulan Agustus 1922 itu juga, 28 pemimpin menandatangani sebuah pernyataan yang dinamakan Batak Maninggoring yang menyatakan bahwa “bangsa” penduduk Mandailing adalah bangsa Batak.

Digarisbawahi bahwa sesungguhnya Batak bukanlah nama sebuah negeri atau pun agama, tetapi nama sebuah bangsa di Indonesia yang bermukim di residentie Tapanuli. Sementara Mandailing bukanlah nama sebuah bangsa, melainkan nama sebuah luak di residentie tersebut. Setelah 20 tahun lebih, debat Mandailing versus Batak  akhirnya berujung damai. ***