Festival Loy Krathong: Persembahan bagi Dewa Sungai

Sungai Chao Phraya menjelang Festival Loy Krathong.

Sungai Chao Phraya menjelang Festival Loy Krathong.

Bus pariwisata bertingkat dua yang saya tumpangi merangkak pelan mengikuti arus kemacetan lalu lintas Kota Bangkok, Thailand. Sore itu, 24 November 2007,  saya dan rombongan wartawan yang diundang oleh Tourism Authority of Thailand dan maskapai Air Asia tengah menuju Sungai Chao Phraya di wilayah barat Bangkok untuk mengikuti festival tahunan Loy Krathong.

Soal kepadatan lalu lintas ibu kota Thailand ini mengingatkan saya pada Jakarta. Di kedua ibu kota negara ini, pertambahan panjang ruas jalan tertinggal di belakang pertambahan jumlah kendaraan. Cuma bedanya, di Bangkok jarang terdengar bunyi klakson. Padahal soal gaya mengemudi sopir Bangkok tak kalah “rusak” dengan pengemudi di Jakarta.

Saya pernah iseng menghitung, di tepi jalan Pasar Chatuchak yang macet, selama 10 menit, hanya terdengar lima kali bunyi klakson! Kok bisa, ya? Pemandu kami, Dennis, punya jawabannya. “Dulu Bangkok juga berisik seperti Jakarta. Raja tidak suka, minta klakson dikurangi,” kata dia dalam bahasa Indonesia yang lancar.

Dan malam itu kemacetan semakin buruk. Semua kendaraan tumpah ruah ke jalanan Bangkok. Sama seperti kami, orang-orang ingin ikut memeriahkan festival Loy Krathong, yang dirayakan setiap malam bulan purnama ke-12 dalam hitungan kalender bulan masyarakat Thailand.

Loy dalam bahasa Indonesia artinya mengapungkan, sedangkan krathong adalah sesajen yang terbuat dari dasar batang pisang–kini banyak diganti dengan Styrofoam–yang dihiasi dengan daun pisang, bunga, lilin, dan hio. Jadi “loy krathong” artinya kira-kira sama dengan melarung.

Rangkaian bunga yang akan dilarung.

Rangkaian bunga yang akan dilarung.

Pada malam purnama ke-12, masyarakat Thailand yang tinggal di dekat kanal, sungai, danau, atau laut akan melayarkan krathong-nya langsung ke atas air. Sementara itu, yang tinggal jauh dari air atau di pegunungan akan melepaskan lampion ke udara.

Festival ini konon dimulai masyarakat Thailand kuno atas prakarsa Raja Sukhotai bernama Lithai, yang memerintah pada 1346-1374. Krathong dimaksudkan sebagai persembahan kepada Phra Mae Kong Ka, dewa sungai dalam agama Hindu. Tidak jarang, di dalam krathong juga disertakan koin, rambut, dan potongan kuku sebagai simbol membuang sial, karma buruk, dan penyakit.

Walau hari masih sore, sepanjang jalan kota yang kami lalui terlihat kesibukan yang luar biasa menyambut Loy Krathong. Di dekat sebuah kampus, ratusan muda-mudi tampak membawa krathong ke dalam kampus mereka. Rupanya mereka hendak melepas krathong ke danau yang terdapat di dalam kampus.

Sore berganti malam, tepian Sungai Chao Phraya sudah mulai terlihat. Tapi kemacetan belum juga bisa ditembus. Kami mulai cemas. Sebab, sejak siang, Dennis sudah mewanti-wanti agar kami tepat waktu. Kapal pesiar yang akan membawa kami menyusuri Chao Phraya akan berangkat pukul 19.00. Itu artinya kurang lima menit lagi.

“Sawasdee khap, selamat malam, saya Dennis,” salam khas pria setengah baya itu terdengar lirih dari pengeras suara. Dengan ekspresi kecewa, ia melanjutkan, “Saya minta maaf kepada Air Asia, kapal pesiar sudah berangkat, kita terlambat,” ujarnya sambil menunjuk ke arah sebuah pelabuhan kecil.

Seisi bus terdiam. Terbayang festival yang hanya setahun sekali ini harus terlewat gara-gara kami terlambat. Beberapa detik kosong, Dennis mendadak tersenyum penuh kemenangan. “Saya berbohong. Kapal berangkat pukul delapan. Kalau tadi saya jujur, pasti akan telat,” kata dia.  Kontan kami ribut dan marah-marah kepada Dennis.

Sepuluh menit kemudian, kami sampai di sebuah pelabuhan kecil di kawasan Thon Buri. Kota di sisi barat Sungai Chao Phraya itu dulunya pernah menjadi ibu kota Thailand pada masa Raja Taksin (memerintah 1768-1782). Pada 1782, Raja Rama I memindahkan ibu kota ke sisi timur Chao Phraya, yang menjadi Bangkok sekarang.

Di pelabuhan telah menanti tiga kapal pesiar Chao Phraya Princess I, II, dan III. Kapasitas setiap kapal pesiar bertingkat dua 100-200 penumpang. Sesudah menunggu beberapa saat, kami dipersilakan naik ke kapal masing-
masing.

Sebelum menginjakkan kaki ke jembatan, tiba-tiba seorang perempuan berpakaian adat Thailand yang membawa krathong mendekati saya. Seorang laki-laki dengan sigap memotret kami berdua. Rupanya semua tamu diperlakukan serupa. “Bagus sekali pelayanan kapal ini,” demikian yang ada dalam pikiran saya.

Di atas kapal, hidangan prasmanan yang mewah sudah tersaji lengkap. Sambil menunggu makan malam dibuka secara resmi, kami dihibur oleh permainan saksofon di anjungan kapal. Sekitar pukul 20.00, hidangan pun dibuka. Lezat sekali. Segala jenis makanan tersedia, termasuk makanan penutup.

Sekitar pukul 20.30 WIB, kapal mulai bergerak melayari Sungai Chao Phraya. Alunan musik instrumentalia yang tadi mengiringi kami makan malam telah digantikan oleh penyanyi perempuan asal Filipina yang lincah. Pelan-pelan kapal berlayar. Sekilas saya mendengar, tarif berlayar dengan kapal ini 3.600 baht (sekitar Rp 1 juta).

Kapal ini terdiri atas dua tingkat. Tingkat pertama bertutup kaca. Rombongan kami mendapatkan tempat di lantai atas, yang terbuka. Sambil disapu semilir angin sungai, di sepanjang tepian Chao Phraya, saya menyaksikan ribuan sosok manusia bergerak melepaskan krathong mereka ke sungai. Festival telah dimulai.

Malam itu langit sangat cerah. Bayangan bulan yang bulat penuh memantul di riak air sungai. Semakin malam permukaan sungai semakin ramai oleh ribuan krathong yang berlayar. Timbul-tenggelam di atas air, krathong telah berlayar membawa serta dosa dan nasib buruk manusia ke dalam air. Di kejauhan saya juga melihat belasan lampion merah melayang.

Chao Phraya, yang membentang sepanjang 372 kilometer, malam itu dipercantik dengan hilir mudiknya belasan kapal hias warna-warni. Di setiap kapal selalu ada tulisan yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada Raja Bhumibol Adulyadej yang ke-80. Masyarakat Thailand sangat mencintai raja mereka yang berulang tahun pada 5 Desember.

“Dar dar dar, bumm….” Mendadak di kejauhan terdengar suara letusan keras berkali-kali. Di langit kembang api berpijar-pijar dan lenyap, silih berganti warna-warni yang indah. Sebuah kapal khusus telah melepaskan kembang api ke udara. Selama lima menit penuh, tak putus-putus kembang api melesat dan meletup. Puluhan penumpang berdesak-desakan ke haluan kapal menyaksikan atraksi tersebut.

Setengah jam kemudian, terdengar pengumuman dalam bahasa Inggris, yang mengajak penumpang kapal ikut melarung. Saya pun bergegas mengambil krathong yang sudah tersedia sejak awal di atas meja makan tiap-tiap penumpang. Saya menyalakan lilin dan hio, lalu membawa krathong sebesar genggaman tangan itu ke lantai dasar.

Berbaur bersama puluhan penumpang lain yang berasal dari berbagai bangsa, saya menunggu giliran melepas krathong. Beberapa penumpang sesaat sebelum melepas krathong terlihat mengangkat krathong-nya ke atas kepala atau mendekatkannya ke dada dan berkomat-kamit. Mungkin sedang mengucap doa, menyatakan keinginan dan harapan-harapannya.

Melarung dari kapal pesiar.

Melarung dari kapal pesiar.

Perjalanan dengan kapal pesiar ini berlangsung kurang-lebih dua setengah jam dengan rute pulang-pergi ke arah selatan-utara. Selain menyaksikan festival itu sendiri, saat menyusuri Sungai Chao Phraya, kita bisa menyaksikan obyek wisata eksotik andalan Thailand yang memang banyak berbaris di tepian sungai.

Berlayar ke arah selatan, di sebelah kiri Chao Phraya saya menyaksikan pemandangan Istana Raja yang megah. Di sebelah Istana Raja terdapat Pagoda Phra Kaew, yang menyimpan patung suci Buddha Emerald. Terus ke selatan, kali ini di sebelah kanan berdiri mentereng Pagoda Arun Ratcha Wararam. Pagoda setinggi 79 meter berlapis porselen itu bersinar indah sekali pada waktu malam hari.

Tengah asyik tenggelam menikmati pesona Thailand dari atas air, perempuan kurus tinggi yang tadi berfoto bersama saya menghampiri meja kami. Di ketiaknya terselip kardus berisi foto-foto kami. Tanpa bersuara, dia menyerahkan foto-foto yang telah dibingkai itu kepada si empunya wajah.

Awalnya kami senang dan tersenyum lebar menyaksikan wajah-wajah kami sendiri. Tapi senyum itu tidak bertahan lama dan langsung buyar demi melihat sepotong kecil label di atas bingkai yang bertulisan 200 baht. Olala… ternyata foto-foto tadi tidak gratis, melainkan harus ditebus dengan harga Rp 60 ribu.

“Wah, ini sih jual paksa. Dua ratus baht bisa buat beli baju,” kata-kata sumbang mulai ramai. Setelah misuh-misuh sejenak, serentak kami menolak dan mengembalikan foto-foto tadi. “No, Miss. Khop khun khap,” kata kami berbasa-basi. Perempuan itu, yang beberapa menit lalu masih bertampang ramah, mendadak berubah sangat masam. Setelah mencabuti foto-foto kami dari bingkainya, ia pun bergegas pergi. Kesian deh, kamu.

(Dimuat dalam Rubrik Perjalanan Koran Tempo, Edisi Minggu 9 Desember 2007)