Bagaimana Identitas “Batak” Terbentuk?

Di waktu saya kecil,  olok-olok SARA yang paling populer adalah “orang Batak makan orang.”  Separuh geli, separuh jengkel mendengarnya. Mau marah gimana,  konon faktanya memang seperti itu. Akhirnya kami malah ramai-ramai menertawakan olok-olok itu. Tidak ada sakit hati, tidak ada dendam, karena dulu belum banyak orang yang memandang kelewat serius isu SARA.

Kisah yang dituturkan secara turun-temurun  juga mendukung cerita itu. Saya pernah ke sebuah pekuburan batu di Pulau Samosir. Pemandu wisata kami mengatakan, batu-batu kuburan di sana berwarna merah kecoklatan karena diwarnai oleh darah. Saya sih tidak percaya. Masa warna merah darah bisa bertahan ratusan tahun?  Perkiraan saya sarkofagus itu diwarnai dengan tumbuh-tumbuhan.

Dia juga  mengakui, penduduk Samosir zaman dulu kerap memakan tubuh tawanan perang yang sudah tewas. Tapi, kata dia, tujuannya bukan untuk bersenang-senang melainkan untuk menghindari pihak yang membunuh dihantui korbannya. Dengan kata lain, memakan tubuh manusia dilakukan bukan karena masyarakat dahulu kanibal, tapi semata-mata karena kepercayaan dan tradisi.

Suka tidak suka, sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya identitas “bangsa Batak” dimulai dari cerita yang tidak nyaman, termasuk ya…cerita makan-memakan orang itu.  Buku berjudul Kolonialisme dan etnisitas  Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut karya Daniel Perret dan diterjemahkan oleh Saraswati Wardhany, terbitan tahun 2010, yang baru saya baca  memberikan informasi yang sama.

Dituliskan di buku itu, catatan pertama yang mempunyai kaitan dengan masyarakat Batak dibuat oleh geograf Yunani, Ptolemaeus, pada abad ke-2 Masehi. Ia melukiskan, bagian utara Sumatera sebagai sekumpulan pulau yang di antaranya dihuni oleh orang pemakan manusia. Setelah itu, muncul tulisan-tulisan lain dari sumber-sumber pengelana Arab yang memberikan informasi tambahan mengenai cara hidup kanibal di Sumatera.

Pada akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-16, gambaran tentang populasi Sumatera semakin jelas dengan persinggahan Marco Polo di bagian utara Sumatera pada tahun 1291. Ia adalah orang pertama yang mencatat kehadiran Islam dan juga pertentangan antara kaum minoritas penganut paganisme dan sebagian kanibal  yang tinggal di pegunungan.

Nicolo de’ Conti  pada tahun 1430  menjadi orang pertama yang menyebut nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Nama tempat ini ditemukan kembali pada awal abad ke-16 melalui Pires yang menyebut “seorang raja dari Bata” dalam laporannya Suma Oriental.

Nama suku “Bata” muncul berkat F. Mendes Pinto. Ia mungkin adalah orang Eropa pertama yang pergi ke pedalaman utara Sumatera dan meninggalkan jejak tertulis. Dalam Peregrination, penjelajah Portugis ini  mencatat kunjungan duta “raja orang Bata” ke kapten Melaka yang baru.

Tahun 1563, Joao de Barros menggunakan kembali nama suku “Batas” dan menyebutkan bahwa masyarakat kanibal yang  gemar berperang ini menghuni bagian pulau yang berhadapan dengan Melaka. Beaulieu yang mengunjungi Aceh tahun 1620-1621  mencatat bahwa penduduk pulau adalah orang Melayu, tetapi di pedalaman terdapat orang-orang dengan bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa Melayu dan di antaranya ada yang kanibal

Sumber tertulis mengenai kunjungan ke Sumatera bagian utara dari abad ke-17 berasal dari seorang
Tionghoa yang mengambarkan penduduk daerah Panda dan Bata, sepuluh atau sebelas hari perjalanan jauhnya dari Barus yang menghuni gunung dan hutan  dan sama sekali tidak berhubungan dengan orang-orang Melayu dari dataran rendah.  Ia menceritakan secara mendetail cara mereka memakan daging manusia.

Di tahun 1772,  Charles Miller  masuk ke pedalaman Tapanuli. Ia  terkesan oleh keanekaragaman bahasa penduduk di pedalaman yang meski pun demikian memiliki abjad yang sama.  Charles juga  mencatat tentang sebuah
masyarakat kanibal bemama “Battas” yang berbeda dari semua penduduk lain di Sumatera dari segi bahasa, kebiasaan, dan adat.

Dua sintesis tentang Sumatera muncul berturut-turut pada akhir abad ke- 18. Sintesis Radermacher tahun 1781   masih tetap menawarkan pembedaan yang sudah dikenal, yaitu antara orang-orang gunung yang kemungkinan adalah penduduk lama pulau itu  dan masyarakat pesisir yang kebanyakan terdiri dari orang asing

William Marsden menjadi orang pertama yang mempertanyakan kompleksitas masyarakat-masyarakat Pulau Sumatera dalam karyanya  yang terbit di London tahun 1783 .  Radermacher dan Marsden adalah orang-orang pertama yang menawarkan deskripsi mengenai geografi politik “kerajaan orang Battas”.

Pada akhir abad ke-18 itu, nama suku “Batta” (“Batak” menurut Radermacher) sudah diketahui umum sebagai  sebutan untuk mengidentifikasi penduduk di pedalaman utara Sumatera. Tapi, mungkin oleh Marsden sebutan itu terlalu umum. Ia kemudian membuat perbedaan antara penduduk “Carrow” dan “Batta”.

Tahun 1823 John Anderson  bertualang cukup jauh ke pedalaman pesisir timur laut Sumatera. Lebih maju dari Marsden, ia  adalah orang pertama yang mulai menyebut nama-nama “suku”,  yaitu “Mandiling atau Kataran, Pappak, Tubba, Karau-Karau, Kappak, dan Alas”.

Pada tahun berikutnya, Raffles menugasi dua orang misionaris baptis Inggris, Burton dan Ward, untuk mulai mengkristenkan orang “Batak”, dari Sibolga menuju pedalaman “Tanah-Tanah Toba”. Kedua misionaris itu menjadi orang pertama yang memberikan perkiraan batas-batas sebuah daerah yang disebut “Tanah Batak“.

Pengakuan penjajah Belanda terhadap keberadaan bangsa “Batak” ditegaskan dengan dibentuknya jabatan kontrolir urusan “Batak” pada tahun 1888.  Bersama dengan berjalannya waktu, pelan-pelan identitas suku Batak terbentuk seperti sekarang.  Perlu dicatat pula, proses penyatuan identitas tersebut tidak mudah karena masyarakat yang disebut sebagai Batak itu sendiri sebenarnya tidak pernah menyatakan dirinya sebagai bangsa “Batak”.

Kata Batak di masa itu umumnya digunakan oleh orang masyarakat Melayu yang tinggal di pesisir untuk menunjuk kepada sekelompok orang yang tinggal di pedalaman.  Penyatuan identitas Batak semakin rumit dengan munculnya pertentangan antara kelompok Mandailing yang tinggal di selatan dengan  kelompok masyarakat yang berada di utara seperti Toba.  Tapi, syukurlah, setelah melalui perdebatan selama bertahun-tahun, pelan-pelan semua komunitas tadi  melebur menjadi satu seperti sekarang.

Ups, terlewatkan…lantas bagaimana dengan kelompok kanibal yang ada? Buku yang sama menyebutkan, penelitian seorang bernama Anderson mencatat bahwa terdapat suku-suku tertentu yang tidak mengenal kanibalisme.  Kasus kanibalisme terakhir yang dicatat antara 1900 dan 1904 terdapat di suku Simalungun dan terutama di suku Pakpak  yang pada akhir abad ke-19 masih dianggap sebagai contoh paling menonjol di antara pemakan daging
manusia. Sebaliknya, kanibalisme di dalam suku Karo banyak diragukan. Setelah itu, sepertinya ekstistensi kanibalisme telah punah dari bumi Sumatera.  ***

 

5 thoughts on “Bagaimana Identitas “Batak” Terbentuk?

  1. Sebuah tulisan yg sngt menginspirasi untuk mereview sejarah daerah, sy org Nias asli pd kesempatan ini sy sngat senang sudah membaca referensi ttg asal Nias dan Batak, thanks y bro moga sukses dalam karya terlebih dlm postingan berikutnya dapt menambah koleksi informasi ttg sejarah2 daerah dan sukunya.

  2. Terimakasih atas tulisannya, dengan tulisan ini saya semakin faham tentang orang Batak.

    Semoga dengan tulisan² berikutnya bisa lebih sukses dan lebih bomming agar masyarakat pada tau tentang Batak.

Leave a comment